"Sudah masuk dalam cicilan kan untuk 40 tahun pembayarannya dan sebetulnya sekarang belum masuk dalam pembayaran, masih ada grace period selama 10 tahun, baru nanti tahun ke-10 akan mulai pembayaran," katanya.
Perjanjian utang itu sudah sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Jepang, khususnya JICA.
"Tidak ada yang namanya keterlambatan pembayaran oleh pemerintah dan MRT Jakarta," kata dia.
Baca juga: Utang MRT Jakarta ke Jepang Akan Lunas Dalam 40 Tahun
Direktur Keuangan PT MRT Jakarta Tuhiyat menjelaskan, awalnya pinjaman yang diajukan pemerintah ke JICA untuk Fase I sebesar 123,36 miliar yen atau Rp 14,2 triliun.
Namun, dalam prosesnya terdapat revisi desain guna menambah kemampuan daya tahan gempa, yaitu dari magnitudo 7 menjadi 9.
"Itu (penambahan biaya) yang dinamakan price adjusment dari variatif order karena kontraknya sifatnya design and build. Begitu sambil desain, sambil bangun, di lapangan ada regulasi baru," ungkap Tuhiyat.
Hal itulah yang akhirnya menyebabkan biaya pembangunan Fase I sepanjang 16 kilometer mencapai Rp 16 triliun.
Untuk Fase II, Pemerintah Indonesia meminjam 217 miliar yen atau setara Rp 25 triliun.
Baca juga: Biaya Proyek MRT Membengkak karena Penggunaan Baja Anti Gempa
Di fase II PT MRT Jakarta akan membangun receiving sub station atau gardu induk di kawasan Monas, Jakarta Pusat.
Kendati demikian, biaya yang sebenarnya dibutuhkan untuk pembangunannya sekitar Rp 22,5 triliun.
"Kenapa Rp 25 triliun? Karena yang Rp 2,5 triliun ini untuk membiayai kekurangan Fase 1," ujar dia.
Bunga yang harus dibayar pemerintah ke JICA pun relatif kecil, yakni hanya 0,01 persen. Hal itu disebabkan, saat pinjaman ditandatangani, commercial bank interest berkisar 3-4 pesen.
"Karena sifatnya tide loan, itu ada persyaratan. Kata Jepang, kontraktor harus dari kami, pemimpinnya Japan Company, enggak ada yang lain. Nah itu yang namanya tide, tapi itu sudah diambil pemerintah," ujarnya.
Baca juga: Apa Saja Kendala Penyelesaian Proyek MRT Jakarta?
Setelah proyek ini berjalan, kontraktor yang menagih pembayaran akan dikumpulkan seluruh bukti pekerjaannya.
Setelah itu, dilakukan proses verifikasi oleh tim gabungan dari MRT, Kementerian Perhubungan, dan Pemprov DKI. Hasil verifikasi tersebut akan dibawa pemerintah pusat untuk kemudian diserahkan ke pemerintah Jepang melalui JICA.
"Nanti JICA akan verifikasi lagi, lalu dia akan bayar langsung ke kontraktor. Uangnya enggak ada sama kami," kata Tuhiyat.