Revisi ini dinilai penting untuk menentukan langkah pengendalian pencemaran udara, terlebih di Jakarta. Standar WHO tentu layak dijadikan acuan.
"Namanya manusia kan seluruh dunia kurang lebih daya tahannya terhadap polusi kan sama. Kalau pakai aturan pemerintah kita, orang Indonesia seakan lebih sakti terhadap pencemaran udara dibanding orang Amerika, Eropa, Cina, dan sebagainya," kata Puput.
"Standar WHO ini kan sangat mendasar dalam perlindungan manusia, apalagi kita punya konvensi yang ditandatangani, sudah diratifikasi di PBB. Ngapain kita kok enggak pakai?"
Resistensi pemerintah, dalam konteks ini Pemprov DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Ibu Kota tidak dalam kondisi buruk dinilai bisa memperburuk penanganan masalah polusi udara itu sendiri.
"Pemerintah enggak usah takut, harusnya ini dihadapi dengan penjelasan pada publik dan mengambil langkah konkret. Jangan sibuk resisten bertahan atau membantah bahwa tidak terjadi pencemaran," desak Puput.
Menurutnya, warga tidak akan marah dan menimpakan kesalahan sepenuhnya pada pemerintah jika pemerintah mengakui masalah pencemaran udara. Malah, Puput menilai hal ini dapat dijadikan pintu masuk untuk penanganan masalah polusi udara yang kian parah di Jakarta dengan pendekatan partisipatif.
"Justru dengan data seperti ini, pemerintah bisa membalikkan pada publik, bahwa publik harus partisipasi buat menurunkan ini. Pemerintah bisa berkata, 'Mobil, sepeda motor kalian sudah uji emisi belum? Kalian jangan pakai lagi bahan bakar pencemar, seperti premium, pertalite, solar 48 (bio solar)'," tegas Puput.
Puput juga menganggap pemerintah lebih baik mengerjakan langkah konkret untuk menekan tingkat polusi ketimbang sibuk mengklarifikasi kabar soal polusi udara.
Baca juga: Sejumlah Langkah yang Mesti Ditempuh demi Menekan Polusi Udara Jakarta
Salah satu langkah konkret yang dapat ditempuh adalah mengadakan razia emisi kendaraan bermotor yang melibatkan sinergi Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya. Langkah ini dinilai bisa menjadi solusi jangka pendek bagi masalah polusi udara Jakarta.
"Kan undang-undangnya mengatakan, setiap kendaraan mobil dan motor beroperasi di jalan raya wajib memenuhi emisi. Itu harusnya dirazia. Ditambah lagi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pencemaran udara. Jadi polisi dan dinas lingkungan harus bekerja sama soal itu," ujar Puput yang merujuk ke Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Namun, hingga saat ini uji emisi kendaraan diperlakukan hanya sebagai "kegiatan sukarela".
"Razia emisi itu tidak perlu tiap hari, tiga bulan sekali cukup. Dua jam saja. Katakanlah dalam dua jam itu kita merazia 100 mobil atau motor. Hanya dua kendaraan saja kendaraan yang ketahuan tidak memenuhi standar, terus ditindaklanjuti ke pengadilan, terus hakim memberikan denda Rp 2 juta," papar Puput.
"Itu kan sudah menjadi informasi yang positif untuk pengendara yang lain. 'Wah sekarang (emisi) sudah ada razia ya'. Dengan begitu, mereka akan takut dan bakal mengecek kendaraannya. Efek itu kan penting kan. Yang ditangkap cuma satu, tapi satu orang yang ditangkap, ini akan memengaruhi 10 juta orang," tambah dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.