KOMPAS.com – Ondel-ondel awalnya adalah representasi belief masyarakat Betawi akan kekuatan maha besar di luar manusia. Ia simbol pertahanan, penolak bala dari kekuatan jahat yang tak terlihat.
Kini, belief itu luntur, tak tersisa. Ia tak lebih seonggok boneka kayu raksasa yang digoyang-goyang di jalanan demi menambal perut yang keroncongan. Urusan perut adalah juga belief.
Dalam sejarahnya yang panjang, ondel-ondel menyisakan cerita tentang pertarungan belief masyarakat yang berjuang mencari makna hidup dari masa ke masa.
Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ayu Nova Lissandhi yang pernah meneliti soal ondel-ondel bercerita, sejak kepopulerannya di kehidupan masyarakat Jakarta, ondel-ondel selalu jadi rebutan dan tarik-menarik. Bahkan di kelompok Betawi sendiri.
Pada mulanya, ondel-ondel berfungsi sebagai tradisi ritual masyarakat Betawi. Keberadaan ondel-ondel erat kaitannya dengan animisme atau kepercayaan terhadap roh dan benda-benda suci.
Baca juga: Ondel-ondel, Ikon Betawi yang Terpaksa Ngibing dan Ngamen buat Bertahan
Ondel-ondel digunakan untuk menolak bala atau menolak kesialan dan roh jahat. Biasanya, ondel-ondel tampil di perkawinan, khitanan, terutama ketika masyarakat sedang kesusahan.
“Ondel-ondel merupakan bagian dari tradisi dan ada beberapa ritual yang dilakukan oleh pendukungnya mulai dari proses pembuatan hingga saat dilakukan arakan,” kata Ayu kepada Kompas.com, Minggu (14/7/2019).
Ada yang meyakini ondel-ondel terpengaruh budaya China. Ondel-ondel dinilai mirip dengan barongsai. Selain itu, ada juga yang menyebut ondel-ondel warisan hindu dan buddha sebab mirip dengan barong landung dari Bali.
Masalah muncul ketika ada perbedaan pandangan di tengah masyarakat Betawi. Ada betawi tengah yang dikenal sebagai kalangan elit terpelajar dengan pegangan terhadap agama Islam yang kuat dan mengacu pada kebudayaan Arab. Kemudian ada Betawi pinggir yang masih memegang tradisi nenek moyang.
Betawi tengah menolak praktik mistis ondel-ondel karena bertentangan dengan Islam.
“Penolakan itu dari Betawi tengah yang memang didominasi oleh kultur Arab,” ujar Ayu.
Baca juga: Ondel-ondel Jalanan, Boneka Betawi yang Kehilangan Sakralitasnya
Dalam penelitiannya, Ayu mengatakan banyak seniman ondel-ondel yang kemudian dilema. Ondel-ondel dianggap sebagai sesembahan yang tidak sesuai dengan ajaran guru mengaji mereka.
Seniman yang tergolong kelompok Betawi pinggir ini pun menjadikan ondel-ondel sebagai medium kesenian.
Ondel-ondel dijadikan hiburan di acara-acara warga, tanpa memasukkan ritual yang sakral. Ondel-ondel dinikmati sebagai hiburan rakyat dengan tanjidor dan gambang kromong.
“Dahulu banyak pengeluaran yang basisnya tradisi, misalnya pada saat ondel-ondel dikeluarkan ada tradisi ‘nyuguh’ sekarang tidak lagi karena unsur kepraktisan dan sudah tidak ada lagi yang mewarisi pengetahuan tentang bagaimana seni tersebut dilakukan,” kata Ayu.