Ia juga rela tidur di emperan toko setiap harinya agar tak mengeluarkan banyak biaya hidup.
"Saya upah buat makan saya tok palingan Rp 20.000 sudah kenyang. Sisanya saya sisihkan buat anak saya," ucap Mulyadi tersenyum tipis.
Mulyadi sudah menjalani pekerjaan ini sejak tahun 1970-an. Dia dahulu berkeliling Jakarta Pusat menawarkan jasa semirnya.
Keadaan pernah membuat dirinya berhenti menjadi semir sepatu selama lebih kurang 7 tahun.
Laki-laki anak dua itu bercerita, saat pulang menyemir, dirinya ditabrak lari oleh sebuah mobil di kawasan Gunung Sahari.
Ia yang kala itu tak berdaya hingga nyawanya hampir hilang harus dirawat cukup lama.
Kejadian buruk itu tak berujung sampai di situ, istrinya pun tiba-tiba meninggalkan dirinya saat ia terpuruk.
Namun, ia bangkit dari keterpurukannya dan membuang rasa sakitnya. Ia setiap hari berlatih berjalan demi bisa bekerja kembali.
"Istri saya mah ngiranya saya sudah lumpuh makanya saya ditinggalkan. Tapi sayangnya saya bangkit sampai kayak sekarang," katanya sesekali meneteskan air mata.
Baca juga: Sastia Prama Putri dan Perjuangan Perempuan Peneliti Diaspora Kelas Dunia
Ia mulai menawarkan jasa semirnya lagi pada 2015. Saat itu ia berjualan dengan bantuan tongkat yang dikasih oleh temannya.
Mulyadi pun memutuskan hanya menawarkan jasanya di sekitaran Pasar Baru lantaran tak kuat berjalan lama menggunakan tongkat.
Seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa berjalan tanpa tongkat.
"Saya kasih tongkatnya ke orang lain yang keadaannya sama kaya saya. Kalau saya kan jalannya sudah bisa walau masih jinjet," kata Mulyadi.
Meski sulit berjalan, Mulyadi tak pernah mengeluh. Ia menjalani hari-harinya dengan bersyukur.
Ia kuat karena ia tahu harus menyelolahkan anaknya hingga sukses.