JAKARTA, KOMPAS.com - Publik dikejutkan dengan penangkapan dua pegiat sosial oleh jajaran Polda Metro Jaya, yakni musisi dan eks wartawan Tempo, Ananda Badudu, serta jurnalis dan sutradara film dokumenter Sexy Killers Dandhy Dwi Laksono.
Keduanya ditangkap pada Kamis (26/9/2019) malam dan diperiksa di dua unit berbeda.
Dandhy diperiksa atas kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
Sementara itu, Ananda diperiksa oleh penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Penangkapan keduanya menimbulkan sejumlah kejanggalan di benak publik.
Akibatnya, publik meramaikan jagat media sosial dengan tagar #BebaskanDandhy dan #BebaskanAnanda.
Tak pernah diperiksa, Dandhy langsung ditetapkan tersangka
Istri Dandhy, Irna Gustiawati, mengatakan, suaminya ditangkap di kediaman mereka di Bekasi, Jawa Barat.
Baca juga: Pasal Karet Tak Cukup Membungkam Dandhy Dwi Laksono
Penangkapan berawal ketika Dandhy baru tiba di rumah sekitar pukul 22.30 WIB. Sekitar 15 menit kemudian terdengar pintu rumah digedor.
"Pukul 22.45 ada tamu menggedor pagar rumah lalu dibuka oleh Dandhy," ujar Irna.
Rombongan dari jajaran Polda Metro Jaya yang dipimpin seseorang bernama Fathur itu kemudian mengaku akan menangkap Dandhy karena unggahan mengenai Papua.
Sekitar pukul 23.05 WIB, tim yang terdiri dari empat orang tersebut langsung membawa Dandhy ke Polda Metro Jaya dengan mobil Fortuner bernomor polisi D 216 CC.
"Petugas yang datang sebanyak empat orang. Penangkapan disaksikan oleh dua satpam RT," ujar Irna.
Dandhy mengaku terkejut atas penangkapan tersebut. Pasalnya, menurut Dandhy, polisi langsung menunjukkan surat penangkapan.
Padahal sebelumnya, dia tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian seperti yang dituduhkan polisi.
Namun, ia tetap bersikap kooperatif dan mengikuti proses hukum yang berlaku.
"Saya terkejut tiba-tiba petugas ke rumah dan menunjukkan materi yang saya twit. Kemudian konfirmasi apakah itu twit saya. Saya jawab, (itu) betul terkait Papua," ujar Dandhy kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019).
Dandhy mengaku bersikap kooperatif saat dimintai keterangan oleh polisi di Polda Metro Jaya.
"Saya pikir saya kooperatif (dengan) proses ini. Saya penasaran, saya ingin tahu sebenarnya apa yang disangkakan sehingga saya mengikuti proses verbalnya," ujar Dandhy.
Baca juga: 6 Fakta Penangkapan Ananda Badudu Terkait Penggalangan Dana untuk Aksi Mahasiswa
Selanjutnya, Dandhy menjalani pemeriksaan hingga Jumat sekitar pukul 04.00 WIB, didampingi kuasa hukumnya, Alghifari Aqsa.
Dandhy dicecar 14 pertanyaan terkait kicauan akun Twitternya terkait Papua dan Wamena pada 23 September 2019.
Kompas.com mencoba menelusuri kicauan tersebut. Kicauan itu masih dapat diakses di akun Twitter Dandhy @Dhandy_Laksono.
Kicauan yang diunggah Dandhy menyertakan dua foto dan beberapa artikel berita online terkait Papua dan Wamena.
"JAYAPURA (foto 1). Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas," bunyi keterangan dalam unggahan tersebut.
"WAMENA (foto 2).Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak," lanjut keterangannya.
Pada pemeriksaan pertamanya itu, Dandhy langsung ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian.
Namun, polisi memutuskan untuk tidak menahan Dandhy.
"Status Dandhy tersangka. Hari ini beliau dipulangkan, tidak ditahan. Kita menunggu proses selanjutnya dari kepolisian," ujar Alghifari.
Baca juga: Dandhy Laksono: Apa Iya Ini Kejahatan yang Sangat Urgen?
Dandhy dijerat Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang penyebaran ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, kicauan Dandhy terkait Papua dan Wamena belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Argo menyebut, kicauan Dandhy tersebut diduga bisa memprovokasi masyarakat untuk membenci suatu kelompok tertentu.
Oleh karena itu, dia ditetapkan sebagai tersangka penyebaran ujaran kebencian.
"Postingan itu mengandung ujaran kebencian dan isu SARA. Makanya tadi malam kami lakukan penangkapan," ujar Argo.
Penangkapan Ananda Badudu terkait aliran dana unjuk rasa
Setelah penangkapan Dandhy, publik kembali dikejutkan dengan penangkapan Ananda Badudu.
Penangkapan itu disampaikan mantan personel Banda Neira itu melalui akun Twitternya.
"Saya dijemput polda karena mentransfer sejumlah dana pada mahasiswa," tulis Ananda di akun Twitternya, @anandabadudu, Jumat.
Saat dikonfirmasi, Argo memastikan Ananda hanya diperiksa sebagai saksi terkait aliran dana kepada mahasiswa yang menggelar aksi unjuk rasa di Kompleks Parlemen Senayan pada 23-25 September 2019.
Mantan wartawan Tempo itu diketahui menginisiasi penggalangan dana publik untuk mendukung gerakan mahasiswa melalui situs crowdfunding, kitabisa.com.
Argo menyebut Ananda mentransfer uang senilai Rp 10 juta kepada mahasiswa yang menggelar unjuk rasa.
Informasi terkait aliran dana tersebut disampaikan mahasiswa yang telah ditetapkan tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya.
"Awalnya ada massa demo yang dijadikan tersangka karena melawan petugas. Dari hasil pemeriksaan, tersangka mendapat transfer (uang) Rp 10 juta dari saksi (Ananda Badudu)," ujar Argo.
Pada Jumat pukul 10.17, Ananda dipulangkan oleh penyidik Polda Metro Jaya.
Kepada wartawan, Ananda mengaku pembebasan dirinya merupakan bentuk jaminan hukum yang hanya dapat dinikmati segelintir orang.
"Saya salah satu orang yang beruntung punya privilege untuk bisa segera dibebaskan," ujar Ananda sambil menahan tangis.
Sementara itu, dia mengaku melihat sejumlah mahasiswa yang diamankan oleh pihak kepolisian saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR diproses secara tidak etis.
"Tapi di dalam saya lihat banyak sekali mahasiswa yang diproses tanpa pendampingam, diproses dengan cara-cara tidak etis. Mereka butuh pertolongan lebih dari saya," katanya.
Namun, pernyataan Ananda tersebut telah dibantah oleh pihak kepolisian.
"Tidak benar. Semua proses pemeriksaan dilaksanakan secara profesional dan proporsional," kata Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Suyudi Ario Seto.
Kejanggalan penangkapan Dandhy dan Ananda
Penangkapan Dandhy dan Ananda menimbulkan tanda tanya kepada publik.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, penangkapan kedua pegiat sosial itu mencederai kebebasan berpendapat.
"Ini (penangkapan Dandhy) tindakan gegabah dan paranoid yang dilakukan pihak keamanan. Kritik dianggap ancaman keamanan, ini sangat mencederai semangat kebebasan berpendapat dalam demokrasi kita," kata Bambang kepada Kompas.com.
"Demikian juga kasus Ananda Badudu. Tidak menyelesaikan masalah terhadap substansi aksi gerakan mahasiswa dan kebebasan menyalurkan aspirasi," katanya.
Bambang menilai, penangkapan keduanya merupakan pengalihan isu yang dilakukan pihak kepolisian.
"Secara umum terkait dua kasus ini polisi seolah sengaja menjadikannya pengalihan isu dari substansi aksi unjuk rasa maupun substansi problem (masalah) di Papua," katanya.
Bambang juga menyesalkan prosedur penangkapan terhadap keduanya. Padahal, menurut Bambang, keduanya tidak ada niat untuk melarikan diri.
"Mereka ini bukan kriminal yang akan lari atau akan menghilangkan barang bukti. Ini juga menunjukan polisi melakukan abuse of power atas nama kewenangan sebagai penegakan hukum," ujar Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.