JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah orang menengok rumah mereka di Jalan Agung Perkasa VIII, Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara yang sudah jadi puing, Senin (18/11/2019) kemarin.
Mereka lalu membuat pondokan-pondokan baru dari sisa-sisa penggusuran tepat di seberang puing-puing rumah mereka. Sebagian dari mereka tampak coba mengambil barang yang masih bisa digunakan di lokasi penggusuran tersebut.
Rumah sekaligus lapak mereka digusur Pemerintah Kota Jakarta Utara pada Kamis pekan lalu.
Penggusuran dilakukan oleh 1.500 personel gabungan dari kepolisian, satpol PP, TNI dan PPSU.
Baca juga: Bertahan Setelah Penggusuran, Warga Sunter Agung Bangun Gubuk Kayu di Sekitar Lokasi
Meski sempat bentrok, rumah-rumah tersebut tetap digusur.
Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko lantas memberikan sejumlah pernyataan terkait penggusuran tersebut. Warga lalu menanggapinya. Antara pernyataan Sigit dan tanggapan warga terlihat bahwa ada beberapa hal yang bertentangan.
Warga yang terdampak penggusuran itu menagih janji Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sewaktu Pilkada DKI tahun 2017.
Warga mengatakan, mayoritas mereka pilih Anies dalam Pilkada 2017 karena Anies berjanji tidak akan melakukan penggusuran.
"Bingung pilih Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), pilih Anies, tetap aja digusur," kata, Silah Halimah (42).
Akan tetapi, Sigit mengatakan bahwa warga terdampak penggusuran merupakan warga ilegal dan tidak ikut dalam pilkada.
Ia lantas meminta agar warga-warga tersebut dicek data dirinya.
"Cek saja di daftar pemilih sementara maupun daftar pemilih tetap, mereka ada enggak?" tanya Sigit di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, kemarin.
Menurut Sigit, warga yang digusur itu tidak mengikuti pemilihan gubernur karena tidak terdaftar.
"Orang ikut pemilu saja enggak kok. Enggak terdaftar di TPS maupun DPT. Itu klaim atas nama pemilih siapa?" kata Sigit.
Namun warga membantah. Mereka mengaku terdaftar sebagai warga DKI. Namun alamat KTP mereka memang bukan di lokasi tersebut.
Mereka tidak bisa pindah alamat KTP ke lokasi itu karena kampung tersebut tidak memiliki perangkat RT/RW.
"Pas pilkada saya ikut, milih Anies. Tapi enggak di sini, KTP saya di Tanah Merah (Tanjung Priok)," kata salah seorang warga bernama Hasan Basri kepada Kompas.com.
Begitu pula dengan Ahmad Dhari. Ia mengaku ikut dalam Pilkada DKI 2017 dan terdaftar sebagai pemilih di kawasan Kampung Bahari.
Akan tetapi, dari beberapa warga yang kami temui, tidak ada satu pun yang mau menunjukkan KTP mereka.
Sigit mengatakan, Pemkot Jakarta Utara sebelumnya sudah menawari warga di lokasi tersebut untuk pindah ke Rumah Susun Marunda. Menurut Sigit, warga menolak.
Pemkot, kata dia, sudah membuka pendaftaran bagi warga yang ingin tinggal di Rusun Marunda, tetapi tak ada yang mendaftar.
"Kami siapkan Rusun Marunda, tapi ternyata mereka tidak ada yang mendaftar. Karena rata-rata hanya sebagai tempat usaha," ujar dia.
Namun, warga juga membantah perkataan Sigit tersebut. Ahmad mengatakan, isu mengenai penggusuran sempat merebak ketika bulan lalu ada rumah yang kebakaran.
Baca juga: Korban Penggusuran Sunter Agung Minta Pemprov DKI Sediakan Tempat Usaha
Warga lantas berdemo ke kantor wali kota Jakarta Utara menolak penggusuran tersebut. Sejak demonstrasi tersebut, tidak ada komunikasi yang terjalin antara pemerintah dan warga.
"Itu bohong semua," ujar Ahmad Dhari.
Sigit juga mengemukakan, yang digusur mayoritas merupakan lapak-lapak tempat warga berdagang dan bukan tempat tinggal.
"Itu dominan kan tempat usaha, berupa lapak barang bekas. Rongsokan," ujar mantan Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta tersebut.
Ia juga menjelaskan, warga yang terdampak memilih untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing, yaitu di Penggilingan, Kebon Bawang, maupun Tanah Abang.
Hal ini pun dibantah warga. Ahmad Dhari salah satunya. Ia mengakui dirinya memang di lokasi tersebut. Tapi Ahmad mengatakan, ia juga tinggal di lokasi tersebut.
"Saya di sini sejak tahun 80-an. Saya tinggal di sini, berdagang di sini," ucapnya.
Ia menyebutkan bahwa rata-rata warga yang tinggal di sana merupakan pemilik bangunan dan bukan penyewa.
Kuswati, warga yang lain, menyebutkan bahwa ia memang tinggak di lokasi tersebut. Namun dia tidak berdagang. Ia bekerja serabutan di sana, mulai dari buruh cuci, hingga membongkar palet-palet kayu.
"Kami tetap ingin di sini, penghasilan di sini," tutur Kuswati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.