JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak ribuan hektar area hijau, daerah tangkapan air, hutan lindung, dan hutan kota di Jakarta berubah menjadi mal, perkantoran, hingga apartemen.
Ketua Departemen Perencanaan Komunitas dan Regional Alabama Agricultural and Mechanical University, Amerika Serikat, Deden Rukmana menghimpun data-data pelanggaran rencana tata ruang DKI Jakarta tahun 1985-2005 itu dalam artikel yang diterbitkan pada February 2015.
Artikel itu berjudul "The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning after Soeharto's New Order Regime: The Case of the Jakarta Metropolitan Area."
Baca juga: Tiga Pengeras Suara Peringatan Dini Banjir di Petogogan Tak Berfungsi
Dalam artikelnya, Deden merinci, 3.182 hektar daerah tangkapan air kini berubah menjadi area komersil dan residensial di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Berikut rinciannya:
1. Makro Supermarket
2. Bukit Gading Villa Residence
3. Gading Food City
4. Gading Kirana Residence
5. RS Mitra Keluarga
6. Apartemen Kelapa Gading Square
7. KTC Shopping Mall
8. La Piazza
9. Gading Mediterania Residence
10. Mal Kelapa Gading
11. Mal Artha Gading
12. Villa Artha Gading Residence
13. Universal School
14. Apartemen Paladian Park
Kemudian, 2.053 hektar kawasan hutan lindung di Pantai Kapuk, Jakarta Utara juga berubah fungsi menjadi:
1. Pantai Indah Kapuk (area residensial)
2. Damai Indah Golf Course
3. Mal Pluit Mega
4. Pantai Mutiara Residence
5. Mutiara Indah (area residensial)
Sementara 3.605 hektar daerah tangkapan air di Sunter, Jakarta Utara, berubah menjadi Sunter Agung (area residensial) dan pabrik otomotif.
Kemudian, 689 hektar area hijau di Senayan, Jakarta Selatan, kini berubah alih menjadi:
1. Plaza Senayan
2. Hotel Century Atlet Hotel
3. Hotel Mulia
4. Senayan Trade Center
5. Sudirman Place (pusat perbelanjaan dan perkantoran)
6. Apartemen Senayan Residence
7. Permata Senayan (mixuses apartement)
8. Senayan City.
Terakhir, 172 hektar hutan kota di Tomang, Jakarta Barat, berubah menjadi:
1. Mal Taman Anggrek
2. Mediterania Garden Resisence
3. Apartemen Taman Anggrek.
Pelanggaran rencana tata ruang itu terjadi antara tahun 1985 sampai 2006.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi membenarkan data pelanggaran rencana tata ruang yang ditulis dalam artikel Deden.
Selain daftar pelanggaran yang ditulis Deden, kata Tubagus, masih ada pelanggaran rencana tata ruang yang lainnya.
"Selain daftar itu, ada, tapi kami belum pelajari status sebelumnya, misalnya di Kebon Jeruk, ada rawa yang diurug menjelang tahun 2000-an," ujar Tubagus saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/1/2020).
Tubagus berujar, pelanggaran itu terjadi karena kesalahan Pemprov DKI dan pelaku usaha yang mendirikan bangunan-bangunan di area yang tak seharusnya.
"Pemerintah di era itu menggampangkan urusan lingkungan hidup, dan yang menjadi korban adalah kita saat ini. Pemerintah sekarang pun upaya pemulihannya sangat lamban," kata dia.
Menurut Tubagus, Pemprov DKI sebenarnya bisa saja mengembalikan peruntukan daerah sesuai zonasinya. Asalkan, Pemprov DKI memiliki keberanian menegakkan aturan tata ruang itu.
Selain itu, Pemprov DKI juga harus memperbanyak daerah resapan air, mengingat banjir terjadi di banyak wilayah.
Salah satu penyebab banjir itu adalah hilangnya daerah resapan/tangkapan air.
"Jadi yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memperbanyak ruang terbuka hijau dan resapan air," ucap Tubagus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.