"Bagaimana pun, mereka sudah pernah terpapar oleh kekerasan. Jadi, ini (ide kekerasan) pasti sudah ada di kepalanya, terekam dalam alam bawah sadarnya," ujar Yenny.
"Kalau ingin mengembalikan mereka menjadi normal cara berpikirnya, harus lewat terapi yang panjang sekali. Ada banyak sekali sumber daya yang harus kita alokasikan untuk kemudian membuat mereka normal seperti anak-anak lain. Pertanyaannya kita punya enggak?" ia menjelaskan.
Pertanyaan ini pula yang menurut Yenny menjadi dilema para pemangku kebijakan di berbagai negara.
Pasalnya, belum pernah ada suatu model terapi anak-anak kombatan eks ISIS yang dapat dirujuk secara global.
Semua negara masih berupaya merumuskan fasilitas, metode, dan sumber daya guna melakukan deradikalisasi terhadap anak-anak tersebut.
"Mungkin, kita (Indonesia) perlu untuk menciptakan model semacam itu. Justru barangkali kita bisa jadi pionir," tutup Yenny.
Baca juga: Ketua MPR Dukung Keputusan Pemerintah Batal Pulangkan WNI Eks ISIS
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia sudah memutuskan untuk menutup pintu pemulangan 689 WNI eks ISIS.
Menkopolhukam Mahfud MD menyebut mereka sebagai foreign terrorist fighter (FTF). Berangkat dari cap tersebut, Mahfud berujar bahwa pemerintah tak akan memulangkan teroris.
Namun demikian, pemerintah Indonesia masih membuka kemungkinan pendataan (profiling) lebih detail, karena tak seluruh 689 WNI itu kombatan yang angkat senjata untuk ISIS.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.