"Selama ini di jalan-jalan belum efektif, misalnya di stasiun kereta atau di tempat publik, ditanya 'mau kemana', 'izinnya mana', 'bekerja di mana'. Itu harus dievaluasi, agar jelas bahwa orang-orang yang tidak berkepentingan, ya tinggal di rumah saja," ujar Alif, Rabu.
"Selama ini cuma penumpang enggak pakai masker suruh pakai masker, penumpang (mobil) duduk berdua di depan dipindahin ke belakang," tambah dia.
"Kami kan dari sudut kesehatan melihatnya, harapan diadakannya PSBB ini, meningkatnya physical distancing, sehingga penyebaran virus semakin berkurang atau bisa berhenti,” kata Alif.
Pernyataan Alif bukan omong kosong. Pemerintah Kota Depok mencatat, pengguna jalan raya meningkat dalam dua hari terakhir pekan ini, setelah sempat berkurang 11,43 persen pada 4 hari pertama PSBB berlaku.
“Pada 20-21 April 2020 terjadi peningkatan kembali volume kendaraan, mobil dan motor,” ujar Dadang Wihana, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Depok, Selasa.
Dadang memperkirakan, naiknya volume angkutan jalan raya disebabkan oleh limpasan penumpang kereta rel listrik (KRL). Sebagian warga Depok yang notabene kelas pekerja memang masih terpaksa masuk kantor di Jakarta.
Sementara itu, Kasatlantas Polres Metro Depok, Kompol Sutomo menyebut lebih dari 2.400 pelanggaran PSBB terjadi di jalan raya.
Namun, karena tak termuat ketentuan pidana dalam regulasi PSBB, polisi hanya melayangkan teguran kepada para pelanggar.
Belum ada tes massal Covid-19 yang andal
Alif Noeriyanto menjelaskan, pemerintah harusnya fokus melakukan intervensi medis melalui screening massal Covid-19 jika tak bisa membuat warga diam di rumah.
"Ketika tidak mau lockdown, seperti Jepang, Korea, yang awalnya tidak mau lockdown, mereka melakukan screening massal hingga akhirnya kasusnya menurun," ungkap Alif.
"Screening massal terhadap penduduk memanfaatkan Kampung Siaga Covid-19, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan pihak terkait untuk melakukannya door to door, belum dilakukan oleh teman-teman di pemerintahan," imbuh dia.
Screening massal yang dilakukan saat ini tak andal karena menggunakan metode rapid test (uji cepat) yang tingkat akurasinya hanya 30 persen dan sudah tak direkomendasikan oleh WHO.
Idealnya, screening massal dilakukan menggunakan metode tes PCR (polymerase chain reaction) yang hasilnya valid. Namun, kata Alif, metode ini terjegal regulasi dan birokrasi pengadaan mesinnya yang rumit serta mahal.
Saat ini, baru dua laboratorium dengan total 3 mesin PCR yang dimiliki Kota Depok, yang didedikasikan di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI).
Alif memperkirakan, kapasitas sampel yang dapat diuji di Depok saat ini hanya puluhan. Padahal, berkaca pada ekskalasi kasus Covid-19 saat ini, Depok butuh sekitar 10 laboratorium dengan kapasitas 200-300 tes PCR sehari.
"Anggaplah sekarang kita sudah punya baju tempur, tapi senjata tempur dan granatnya belum ada. Senjatanya harusnya kita lengkapi tes PCR," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.