Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepekan PSBB di Depok, Hasilnya Belum Terasa

Kompas.com - 23/04/2020, 06:07 WIB
Vitorio Mantalean,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com – Kota Depok di Jawa Barat sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama sepekan, sejak Rabu (15/4/2020) lalu. PSBB itu dijadwal dua pekan dengan opsi bisa diperpanjang waktunya.

Aktivitas warga dibatasi dengan harapan bisa mengurangi tingkat interaksi fisik yang dapat mempermudah penularan wacah Covid-19.

Namun, pelaksanaan PSBB di Depok dalam pekan pertama ini masih jauh dari sempurna. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait bukannya tak bekerja. Namun evaluasi dan perbaikan mutlak dilakukan pada pekan kedua PSBB.

PSBB diberlakukan dengan tujuan menekan laju penularan Covid-19 yang terus meningkat di Depok sejak pertama diumumkan 2 Maret 2020.

Baca juga: Depok Catat Lonjakan Tertinggi Kasus Covid-19 dalam Sehari pada Rabu Kemarin

Akan tetapi, berkaca dari sepekan pertama ini, tanda-tanda menuju ke arah sana jauh dari kenyataan.

Depok mencatat lonjakan kasus positif Covid-19 tertinggi kemarin, dengan penambahan 24 pasien positif Covid-19 dalam satu hari. Itu artinya, total, sudah 222 warga Depok positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 sejak pertama diumumkan pada 2 Maret 2020.

Jumlah pasien sembuh 13 dan yang meninggal karena Covid-19 sebanyak 17 orang.

 

Jumlah suspect Covid-19 yang tutup usia juga bertambah 4 korban dalam sepekan, menjadi 43 pasien yang meninggal dengan status suspect Covid-19.

Sementara itu, jumlah PDP aktif juga melonjak 75 orang dalam sepekan, menjadi 732 pasien yang masih diawasi hingga Selasa.

Sengkarut distribusi bansos

Selama PSBB, warga harus berdiam di rumah. Pemerintah punya tanggung jawab menambal nafkah harian mereka yang rentan secara ekonomi karena tak bisa beraktivitas normal di luar rumah.

Akan tetapi, bantuan sosial (bansos) yang dijanjikan pemerintah jauh panggang dari api. Distribusinya seret, beberapa bahkan salah sasaran.

Ada dua jenis data yang jadi acuan penerimaan bantuan sosial. Pertama, penerima bansos berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang dihimpun Kementerian Sosial sejak lama.

Kedua, penerima bansos non-DTKS yang baru dihimpun pada awal April 2020 oleh Pemerintah Kota Depok.

Petugas pos menata logistik bantuan sosial untuk warga yang terdampak perekonomiannya akibat COVID-19 di Kantor Pos, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/4). Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyalurkan bantuan sosial (bansos) senilai Rp500 ribu bagi warga yang berpenghasilan rendah dan termasuk miskin baru akibat pandemi COVID-19, khususnya di zona merah persebaran yaitu Bogor, Depok, dan Bekasi. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya Petugas pos menata logistik bantuan sosial untuk warga yang terdampak perekonomiannya akibat COVID-19 di Kantor Pos, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/4). Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyalurkan bantuan sosial (bansos) senilai Rp500 ribu bagi warga yang berpenghasilan rendah dan termasuk miskin baru akibat pandemi COVID-19, khususnya di zona merah persebaran yaitu Bogor, Depok, dan Bekasi.

Wali Kota Depok, Mohammad Idris menyampaikan, total ada sekitar 78.000 kepala keluarga (KK) yang masuk dalam DTKS Kementerian Sosial. Mereka menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah pusat. Mereka akan dapat bansos dari dua instasi itu.

Idris mengungkapkan, pada 15 April 2020, hanya 34.000 KK dari kategori DTKS yang dinyatakan sanggup ditanggung APBN (pemerintah pusat). Meski begitu, pemerintah pusat belum menggelontorkan bansos apa pun ke warga Depok karena masih dalam proses validasi data.

Itu artinya, ada 44.000 KK dari kategori DTKS yang belum jelas penanganannya.

Pemprov Jawa Barat baru menyatakan sanggup menanggung bansos untuk 10.423 KK. Yang  yang sudah dicairkan dalam rupa sembako senilai Rp 350.000 dan uang tunai Rp 150.000 baru untuk 1.000 KK.

Idris pada Rabu kemarin menyatakan bahwa dia masih melobi Pemprov Jawa Barat agar sudi menanggung lebih banyak KK lagi.

Pada data non-DTKS, Pemerintah Kota Depok menghimpun data para pekerja sektor informal melalui Kampung Siaga Covid-19 di tataran RW serta pengajuan dari komunitas, melalui e-mail.

Hingga tenggat 16 April 2020, Kepala Bidang Jaminan Sosial Dinas Sosial Kota Depok, Tri Rezeki Handayani mengungkapkan, pihaknya menerima lebih dari 250.000 KK untuk dibantu.

Data usulan penerima bansos masih terus mengalir. Namun Pemerintah Kota Depok terpaksa hanya merekapitulasi usulan yang masuk paling lambat 16 April 2020. Sebab, data yang diterima banyak yang kurang lengkap, sehingga memakan waktu untuk proses validasi data.

Masalah kemudian muncul terkait manajemen data. Waktu yang singkat memaksa Pemerintah Kota Depok tak bisa melakukan verifikasi langsung ke lapangan guna memeriksa validitas data para penerima bansos.

Baca juga: Sepekan PSBB di Depok, IDI Dorong Screening Massal dengan Tes PCR Covid-19

Dari sekitar 250.000 KK yang diusulkan menerima bansos untuk kategori non-DTKS, Pemerintah Kota Depok hanya menyanggupi 30.000 KK dengan bansos berupa uang tunai Rp 250.000 per KK.

Sebanyak lebih dari 220.000 KK tersisa akan dilimpahkan ke Pemprov Jawa Barat dan pemerintah pusat. Pencairan bansos untuk mereka tak jelas kapan waktunya. Padahal, 220.000 KK yang belum kebagian bansos itu harus menahan lapar.

Fenomena itu berkebalikan dengan pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dalam lawatannya ke Depok pada hari perdana penerapan PSBB.

“Bantuan dari negara (ada) banyak. Tidak boleh ada orang yang kelaparan di Depok,” ucap dia waktu itu.

Pekerja sektor informal menjerit

Dengan seretnya aliran bansos, para pekerja sektor informal, sebagai kalangan yang paling rentan terdampak PSBB, mulai menjerit.

Sopir angkot, salah satunya. Edi Irwan, salah satu sopir angkot nomor 06 Kota Depok mengungkapkan pendapatannya menukik tajam sejak PSBB diberlakukan.

Pasalnya, ada aturan bahwa ia hanya boleh mengangkut penumpang kurang lebih separuh kapasitas mobil, ditambah dengan menurunnya jumlah warga yang bepergian.

"Sekarang Rp 30.000 untuk dibawa pulang. Demi Allah. Itu hasil narik (kerja) satu hari. Biasanya kami bawa pulang Rp 90.000-110.000 sehari. Saya anak 2, istri 1. Bayangkan saja, anak masih sekolah," tutur dia, Selasa (21/4/2020).

Sekretaris Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Depok M Hasyim menyatakan, ada lebih dari 2.000 sopir angkot di Depok, Jawa Barat, yang saat ini menanti bansos dari pemerintah.

Mulai timbul kecemburuan di antara mereka, karena para sopir angkot merasa pemerintah lebih banyak menaruh perhatian pada pengemudi ojek online. Sebuah tanda bahwa kemelut ekonomi berpotensi mengarah pada kemelut sosial.

“Ridwan Kamil kan bilang, rakyat Jawa Barat jangan sampai kelaparan, tapi realisasinya tidak ada. Di RT/RW juga hanya berapa persen yang dapat (bantuan). Teruslah kami ini mencari rezeki juga dipersempit,” kata Edi.

“Anak istri kami mau makan apa?”

Diam di rumah mati kelaparan, ke luar rumah mati kena Covid-19

Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Depok, Roy Pangharapan menilai, pelaksanaan PSBB di Kota Depok hanya berkutat di jalan raya saja. Pemerintah sibuk menggaungkan instruksi bertahan di rumah bagi warga tetapi alpa menunaikan tanggung jawab memastikan kesejahteraan warga yang kehilangan nafkah harian.

Padahal, persoalan itu sangat serius. Roy mencontohkan kasus Yuli Nurmelia, seorang warga miskin di Serang, Banten, yang meninggal dunia setelah hanya mengasup air putih 2 hari sebelum ajal menjemput. Walau kemduain kematian Yuli diklaim “karena serangan jantung”.

Usulan agar Yuli menerima bansos ditolak oleh pemerintah hingga ia tutup usia, walaupun Pemerintah Kota Serang mengklaim telah mengirimkan bantuan baginya.

“PSBB adalah alat untuk menekan jumlah pasien Covid-19. Caranya semua disiplin tinggal di rumah. Tapi harus pastikan rakyat tidak mati kelaparan dengan membagikan bansos tepat sasaran," ujar Roy, Selasa malam.

" Tapi sebulan lebih enggak kerja, tapi juga enggak dapat bansos. Akhirnya mereka nekad keluar rumah, kerja, cari makan. Kalau memilih disipin, maka mati kelaparan seperti di Banten," imbuh dia.

Keadaan menjadi serba dilematis.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Depok, Alif Noeriyanto justru mendesak aparat pemerintahan lebih tegas dalam menerapkan PSBB.

"Selama ini di jalan-jalan belum efektif, misalnya di stasiun kereta atau di tempat publik, ditanya 'mau kemana', 'izinnya mana', 'bekerja di mana'. Itu harus dievaluasi, agar jelas bahwa orang-orang yang tidak berkepentingan, ya tinggal di rumah saja," ujar Alif, Rabu.

"Selama ini cuma penumpang enggak pakai masker suruh pakai masker, penumpang (mobil) duduk berdua di depan dipindahin ke belakang," tambah dia.

"Kami kan dari sudut kesehatan melihatnya, harapan diadakannya PSBB ini, meningkatnya physical distancing, sehingga penyebaran virus semakin berkurang atau bisa berhenti,” kata Alif.

Volume kendaraan naik lagi; polisi tak dimungkinkan menindak

Pernyataan Alif bukan omong kosong. Pemerintah Kota Depok mencatat, pengguna jalan raya meningkat dalam dua hari terakhir pekan ini, setelah sempat berkurang 11,43 persen pada 4 hari pertama PSBB berlaku.

“Pada 20-21 April 2020 terjadi peningkatan kembali volume kendaraan, mobil dan motor,” ujar Dadang Wihana, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Depok, Selasa.

Dadang memperkirakan, naiknya volume angkutan jalan raya disebabkan oleh limpasan penumpang kereta rel listrik (KRL). Sebagian warga Depok yang notabene kelas pekerja memang masih terpaksa masuk kantor di Jakarta.

Sementara itu, Kasatlantas Polres Metro Depok, Kompol Sutomo menyebut lebih dari 2.400 pelanggaran PSBB terjadi di jalan raya.

Namun, karena tak termuat ketentuan pidana dalam regulasi PSBB, polisi hanya melayangkan teguran kepada para pelanggar.

Belum ada tes massal Covid-19 yang andal

Alif Noeriyanto menjelaskan, pemerintah harusnya fokus melakukan intervensi medis melalui screening massal Covid-19 jika tak bisa membuat warga diam di rumah.

"Ketika tidak mau lockdown, seperti Jepang, Korea, yang awalnya tidak mau lockdown, mereka melakukan screening massal hingga akhirnya kasusnya menurun," ungkap Alif.

"Screening massal terhadap penduduk memanfaatkan Kampung Siaga Covid-19, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan pihak terkait untuk melakukannya door to door, belum dilakukan oleh teman-teman di pemerintahan," imbuh dia.

Screening massal yang dilakukan saat ini tak andal karena menggunakan metode rapid test (uji cepat) yang tingkat akurasinya hanya 30 persen dan sudah tak direkomendasikan oleh WHO.

Idealnya, screening massal dilakukan menggunakan metode tes PCR (polymerase chain reaction) yang hasilnya valid. Namun, kata Alif, metode ini terjegal regulasi dan birokrasi pengadaan mesinnya yang rumit serta mahal.

Saat ini, baru dua laboratorium dengan total 3 mesin PCR yang dimiliki Kota Depok, yang didedikasikan di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI).

Alif memperkirakan, kapasitas sampel yang dapat diuji di Depok saat ini hanya puluhan. Padahal, berkaca pada ekskalasi kasus Covid-19 saat ini, Depok butuh sekitar 10 laboratorium dengan kapasitas 200-300 tes PCR sehari.

"Anggaplah sekarang kita sudah punya baju tempur, tapi senjata tempur dan granatnya belum ada. Senjatanya harusnya kita lengkapi tes PCR," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Korban Kebakaran di Depok Ditemukan Terkapar di Atas Meja Kompor

Korban Kebakaran di Depok Ditemukan Terkapar di Atas Meja Kompor

Megapolitan
Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Diduga akibat Kebocoran Selang Tabung Elpiji

Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Diduga akibat Kebocoran Selang Tabung Elpiji

Megapolitan
Polisi Temukan Orangtua Mayat Bayi yang Terbungkus Plastik di Tanah Abang

Polisi Temukan Orangtua Mayat Bayi yang Terbungkus Plastik di Tanah Abang

Megapolitan
PJLP Temukan Mayat Bayi Terbungkus Plastik Saat Bersihkan Sampah di KBB Tanah Abang

PJLP Temukan Mayat Bayi Terbungkus Plastik Saat Bersihkan Sampah di KBB Tanah Abang

Megapolitan
Terdengar Ledakan Saat Agen Gas dan Air di Cinere Kebakaran

Terdengar Ledakan Saat Agen Gas dan Air di Cinere Kebakaran

Megapolitan
Perbaikan Pintu Bendung Katulampa yang Jebol Diperkirakan Selesai Satu Pekan

Perbaikan Pintu Bendung Katulampa yang Jebol Diperkirakan Selesai Satu Pekan

Megapolitan
Dituduh Punya Senjata Api Ilegal, Warga Sumut Melapor ke Komnas HAM

Dituduh Punya Senjata Api Ilegal, Warga Sumut Melapor ke Komnas HAM

Megapolitan
Pemprov DKI Bakal Gratiskan Biaya Ubah Domisili Kendaraan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Pemprov DKI Bakal Gratiskan Biaya Ubah Domisili Kendaraan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Megapolitan
Amarah Pembunuh Wanita di Pulau Pari, Cekik Korban hingga Tewas karena Kesal Diminta Biaya Tambahan 'Open BO'

Amarah Pembunuh Wanita di Pulau Pari, Cekik Korban hingga Tewas karena Kesal Diminta Biaya Tambahan "Open BO"

Megapolitan
Akses Jalan Jembatan Bendung Katulampa Akan Ditutup Selama Perbaikan

Akses Jalan Jembatan Bendung Katulampa Akan Ditutup Selama Perbaikan

Megapolitan
Tidak Kunjung Laku, Rubicon Mario Dandy Bakal Dilelang Ulang dengan Harga Lebih Murah

Tidak Kunjung Laku, Rubicon Mario Dandy Bakal Dilelang Ulang dengan Harga Lebih Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Disarankan Gunakan Wisma Atlet buat Tampung Warga Eks Kampung Bayam

Pemprov DKI Disarankan Gunakan Wisma Atlet buat Tampung Warga Eks Kampung Bayam

Megapolitan
Terlibat Tawuran, Dua Pelajar Dibacok di Jalan Raya Ancol Baru

Terlibat Tawuran, Dua Pelajar Dibacok di Jalan Raya Ancol Baru

Megapolitan
Potret Kemiskinan di Dekat Istana, Warga Tanah Tinggi Tidur Bergantian karena Sempitnya Hunian

Potret Kemiskinan di Dekat Istana, Warga Tanah Tinggi Tidur Bergantian karena Sempitnya Hunian

Megapolitan
Dinas SDA DKI Targetkan Waduk Rawa Malang di Cilincing Mulai Berfungsi Juli 2024

Dinas SDA DKI Targetkan Waduk Rawa Malang di Cilincing Mulai Berfungsi Juli 2024

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com