Kalaupun tak ada kuota internet, kompromi dengan guru menjadi jalan tengah.
Sili dan Putri berkomunikasi dengan guru karena tak bisa mengirimkan tugas dengan tepat waktu.
"Dari sekolah, kan kemarin guru telepon katanya satu anak, satu handphone. Anak saya balas, saya enggak pegang handphone. Yang pegang handphone orangtua," ujar Sili menirukan perbincangan anaknya.
Sili pun beberapa kali mewanti-wanti anaknya agar tak banyak menggunakan ponsel untuk video call. Pasalnya, kuota internetnya sudah terbatas alias mau habis.
"Kalau SMP kan kadang video call, olahraga, semua kirim video. Kan sekarang enggak boleh masuk sekolah dulu," ujarnya.
Sili sudah bekerja menjadi tukang sampah sejak ia masih lajang. Sili sudah bekerja lebih dari 20 tahun sebagai tukang sampah non-PPSU di RT 14 RW 02, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulo Gadung.
Penghasilannya dari bekerja sebagai tukang sampah sekitar Rp 900.000 per bulan.
Uang tersebut harus ia gunakan untuk membayar uang kontrakan sebesar Rp 1,2 juta per bulan, makan selama sebulan, utang, dan tentu biaya kuota internet untuk anaknya belajar.
"Tiap hari duit dari mana kalau enggak ngutang. Kalau ambil sampah enggak tentu dapat duit. Kadang-kadang kosong sampahnya. Kalau sampah, warga kadang ada yang kasih uang, kadang enggak," kata Sili.
Ia pun berharap kedua anaknya bisa memiliki ponsel untuk belajar. Selain itu, ia juga berharap bisa menyediakan paket data di ponsel.
"Ini jujur saja. Ini keadaan saya tak saya tutup-tutupi," ungkap Sili.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.