JAKARTA, KOMPAS.com – Hari-hari Debryna Dewi dihabiskan untuk pekerjaannya di salah satu rumah sakit khusus Covid-19 di Jakarta.
Sejak pukul 15.00 WIB, dia sudah disibukkan dengan pasien Covid-19 yang harus dia tangani.
Sebagai dokter relawan Covid-19, Debryna harus merawat seluruh pasien positif yang ada di rumah sakit.
Baju hazmat yang menutupi tubuh dari ujung kaki ke ujung kepala dia kenakan selama dua sampai tiga jam.
Baca juga: Kerinduan Tenaga Medis Kumpul Bareng Keluarga Setelah 6 Bulan Tangani Pasien Covid-19...
Panas? Tentu saja. Keringat yang mengucur deras dari kepala ke kaki sudah tak lagi dia pedulikan.
Haus dan tidak bisa buang air harus dirasakan Debryna di dalam balutan plastik tebal berwarna putih itu.
Seharusnya, Debryna sudah bisa kembali beristirahat pukul 23.00 WIB. Namun, banyaknya pasien yang harus diurus membuat dia melupakan sejenak hangatnya kasur di asrama.
Tanpa pikir panjang dan mengkhawatirkan letihnya badan, Debryna tancap gas bekerja demi para pasien.
Setidaknya itulah yang diceritakan Debryna kepada Rosianna Silalahi dalam wawancaranya bersama Kompas TV yang videonya diunggah di kanal Youtube Kompastv pada Minggu (6/9/2020).
“Karena banyak sekali yang belum saya selesaikan, jadi sekitar jam 03.00 WIB saya baru selesai. Kita jaga bertiga, tempen saya yang dua orang itu baru selesai jam 04.0 WIB,” kata Debryna kepada Rosi, sapaan akrab Rosiana.
Kata “Wow” sontak keluar dari mulut Rosi ketika mendengar jawaban itu.
Tak disangka para tenaga medis memaksa fisik mereka sampai ke titik batas tertentu demi melayani pasien.
Dari awal mungkin Debryna sudah merasakan lelah fisik. Sampai-sampai lelah jasmani itu sudah tak dia rasakan lagi.
Entah karena sudah semakin kuat, atau malah tak peduli.
Sebagai tenaga medis, tidak elok rasanya bagi Debryna mengeluhkan perasaan lelah didepan para pasien.
Terpaksa dia simpan hal itu dalam hati.
Baca juga: Muncul Klaster Baru di RSUD Bengkayang, 7 Tenaga Medis Tertular dari Pasien Corona yang Dirawat
Sebenarnya bukan lelah yang jadi masalah Debryna. Di dalam tubuh kuatnya, Debryna merasa takut.
“Mental kita ini bukan main ini, kita capek banget. Ketakutan, kecemasan dan hilang harapan. Lihat kanan kiri berjatuhan,” kata dia.
Suaran Debryna mendadak gemetar.
Nada mulai mengeras kala dirinya mengungkapkan isi hati.
Rasa takut yang memang tak mungkin Debryna ungkapkan saat bekerja akhirnya dia ceritakan.
Untuk kali ini saja, Debryna merasa lelah menjadi kuat.
Benar-benar tak ada raut ceria di wajah Debryna. Apa lagi setelah dia sadar bahwa dukungan masyarakat kepada tenaga medis rupanya tak seberapa.
“Orang-orang anggap kita enggak profesional, anggap kita gagal. Padahal kita sudah berupaya semaksimal kita. Kita mengedukasi masyarakat, kita sudah enggak ada energi lagi tapi sekarang disalahi lagi,” kata dia.
Ketika ingin melanjutkan ke kalimat selanjutya, Debryna nampak memalingkan wajah dari kamera.
Tak kuasa dia menahan tangis, meratapi apa yang dia rasakan selama ini.
Namun lagi-lagi dia tak mau menunjukkan kesedihan. Debryna merasa tak perlu menunjukan air matanya kepada para pemirsa. Toh, siapa yang peduli.
“It’s okay,” kata Rosi yang berusaha menenangkan Derbyna.
Kalimat pun kembali berlanjut.
Keadaan semakin memperburuk isi hati Debryna kala melihat angka penyebaran Covid-19 terus menanjak.
Sejak enam bulan terakhir, seperti tak ada angin segar yang datang.
Baca juga: 9,2 Persen Kasus Positif Covid-19 di Jakarta Menimpa Anak-anak dan Remaja
Melihat kisah pilu itu, Rosi menangkap ada rasa kecewa yang dihinggapi Debryna. Seakan Debryna mau menyerah.
Rosi pun kembali melontarkan pertanyaan.
“Apa yang membuat anda seperti capek banget, dan rasanya kalau bisa menyerah, i just wanna give up?” tanya Rosi.
Dengan cepat dan lugas Debryna langsung menjawab.
“Enggak, enggak, kita enggak akan nyerah. Kita tahu ini peran kita untuk lebih terlibat di lapangan untuk mengatasi pandemi ini,” ucap dia.
Debryna paham betul banyak warga yang tak bisa menahan diri untuk keluar rumah.
Ada rasa bosan yang harus dibunuh, ada roda ekonomi yang harus diputar, ada perut yang harus diisi dengan mencari uang di luar rumah.
Namun, seharusnya pemerintah dan sesama masyarakat harus bisa mengedukasi satu sama lain tentang bahaya virus ini.
Jangan karena alasan tersebut, mereka seakan menafikan keberadaan Covid-19.
“Itu harus dibarengi dengan edukasi yang kuat. Masyarakat berfikir ini virusnya bohongan, virusnya mainan. Saya bilang enggak sama sekali, coba lihat lapangan, coba lihat kami,” kata Debryna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.