“Minggu depannya lagi kontrol, dikasih obat pil. Tapi batuk enggak reda-reda. Punggung sudah mulai sakit, sudah mulai sesak, cium debu dadanya sakit gitu,” kisah Tutut.
Baca juga: 85 Persen Pasien Covid-19 di Kota Tangerang Sembuh
Akhirnya, pada 1 September, dua minggu setelah gejala awal, Tutut mulai curiga dirinya terpapar Covid-19.
Dokter juga menyarankan untuk segera melakukan swab test.
“Tanggal 1 swab, tanggal 3-nya sudah enggak kuat. Sudah enggak ngerasain makanan, semua makanan tuh sudah enggak enak rasanya, beli ini-itu salah. Ya sudah deh masuk ke rumah sakit saja,” kata Tutut.
Di rumah sakit, Tutut juga harus berjuang.
Sebab, fasilitas kesehatan penuh imbas banyaknya pasien yang terus berdatangan.
Alhasil, Tutut tidak segera mendapatkan tempat tidur di ruang isolasi.
Ia bahkan harus tidur 3 hari 2 malam di Unit Gawat Darurat (UGD), dengan keadaan diinfus dan memakai selang oksigen.
“Enggak disuruh pulang. Pihak rumah sakit bilang ‘Kalau mau nunggu ya duduk di kursi, kalau enggak mau ya di rumah sakit lain’. Akhirnya, duduk di kursi itu aku 3 hari 2 malem, cuma buat dapet bed doang. Kita enggak bisa naik langsung ke lantai isolasi karena penuh,” jelas Tutut.
Dini hari, keesokan harinya, pihak rumah sakit melakukan rontgen thorax kepada Tutut.
“Dini hari rontgen, ternyata paru-paru aku udah infeksi, karena kan udah kelamaan dari batuk pertama itu. Sudah dua minggu lebih,” tutur Tutut.
Selama diisolasi, selain merasakan gejala-gejala sebelumnya, Tutut juga mulai merasakan pilek.
Ia menduga, hal ini disebabkan oleh selang oksigen yang harus selalu dipasang untuk mengurangi sesak pernafasannya.
Tutut berjuang di rumah sakit hingga lebih dari dua puluh hari lamanya. Pada tes swab ketiga kali yang ia jalani, akhirnya Tutut negatif Covid-19.
Baca juga: Ridwan Kamil: Klaster Covid-19 Keluarga di Bogor, Depok, Bekasi Sedang Tinggi-tingginya
Namun, Tutut tak segera pulang, saking banyaknya obat yang harus ia konsumsi ketika dirawat, tingkat Hemoglobin (HB) Tutut sempat turun.