Di sisi lain, KA 220 yang berada di Stasiun Kebayoran juga diberangkatkan tanpa komunikasi yang baik antara Stasiun Sudimara.
Kereta ini berada di jalur sebaliknya, yang mengarah ke Sudimara.
Kondisi itu memaksa juru langsir di Sudimara segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju jalur tiga.
Masinis tak dapat melihat semboyan dari juru langsir karena ramainya jalur kereta.
Baca juga: Senin Kelam 19 Oktober 1987, Terjadinya Tragedi Bintaro...
Namun, KAA 225 yang seharusnya pindah rel tiba-tiba berangkat. Semboyan 35 dilakukan.
Upaya dari juru langsir dan PPKA untuk menghentikan KA 225 sia-sia.
Lokasi kecelakaan yang berada di tingkungan juga menyebabkan kedua masinis di kereta itu tak saling melihat.
KA 225 yang membawa tujuh gerbong akhirnya saling bertubrukan dengan KA 220 di Desa Pondok Betung pada pukul 06.45 WIB, kedua kereta ini saling bertabrakan.
KA 220 dengan kecepatan 25 kilometer per jam, sedangkan KA 225 dengan kecepatan 30 kilometer per jam saling beradu.
Soal kecepatan, kereta baru bisa berhenti total sekitar 200 meter setelah direm mendadak.
Sudah pasti ada usaha masinis untuk menghentikan laju kereta api, namun terdapat kendala karena peralatan rem yang digunakan sudah tua.
Baca juga: Senin Kelam 19 Oktober 1987, Terjadinya Tragedi Bintaro...
Dalam Tragedi Bintaro itu, masinis dan kondektur yang selamat dalam peristiwa itu mendapat sanksi tegas.
Harian Kompas pada 21 Oktober 1987 menjelaskan bahwa setelah peristiwa itu 15 orang petugas stasiun PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) mendapatkan pemeriksaan intensif.
Setelah melalui proses yang lama, akhirnya petugas itu mendapatkan sanksi.
PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api) Sudimara dianggap bersalah karena memberikan persetujuan persilangan kereta dari Sudimara ke Kebayoran tanpa persetujuan sebelumnya dari PPKA Kebayoran.