JAKARTA, KOMPAS.com - Analis Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menyarankan Pemprov DKI Jakarta agar kembali menggelar operasi yustisi bagi para pendatang.
Operasi yustisi, menurut Yayat, bisa menjadi salah satu kebijakan yang mengatur agar Jakarta tidak dicap sebagai kota yang amburadul.
"Dulu ada namanya kebijakan operasi yustisi, dalam konteks pendatang dari luar Jakarta yang masuk setiap tahun," kata Yayat saat dihubungi melalui telepon, Rabu (11/11/2020).
Baca juga: Pengamat: Jakarta Jadi Kota Amburadul karena Warganya Kurang Edukasi
Pasalnya, menurut Yayat, DKI Jakarta kini menjadi amburadul karena banyak dari mereka yang tinggal di Jakarta, tetapi tidak mengerti aturan tinggal menjadi warga Kota Jakarta.
Sebagai cotoh, menurut Yayat, memang benar DKI Jakarta mendapat penghargaan internasional di bidang transportasi, tetapi faktanya halte transjakarta justru dibakar warganya sendri.
"Yang terjadi di Jakarta, kotanya metropolitan, tapi kelakuannya masih katrokan," tutur dia.
Peristiwa membakar halte baru satu contoh bagaimana warga yang tinggal di Jakarta tidak memiliki edukasi tentang merawat fasilitas kota.
Belum lagi tentang pelanggaran lainnya, seperti membuang sampah sembarangan, melawan arus lalu lintas, parkir sembarangan, dan masih banyak lagi.
Apabila Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan enggan melakukan operasi yustisi, kata Yayat, solusi lainnya dapat dilakukan melalui kebijakan program kependudukan yang membangun kesadaran sebagai warga kota.
Baca juga: Megawati Sebut Jakarta Amburadul, Wagub DKI: Kami Anggap Obat Penyemangat
"Program edukasi warga kota, di mana dan kapan itu harus dimulai, itu harus dari unsur pendidikan," kata Yayat.
Saat ini, lanjut Yayat, banyak sekolah di DKI Jakarta yang tidak memasukkan pelajaran tentang lingkungan perkotaan.
Yayat menginginkan pendidikan tentang kesadaran menjadi warga kota ditanamkan sejak sekolah dasar.
"Contoh anak SD, ayo suruh jalan-jalan aja di trotoar. Gaya (budaya) berjalan kaki muncul, ajarkan bagaimana membuang sampah pada tempatnya, itu yang kurang," tutur dia.
Dia juga menilai Jakarta sudah terlalu banyak membangun fisik, tetapi melupakan membangun peradaban perkotaan yang baik.
"Kota ini terlalu banyak membangun aspek fisiknya bukan aspek manusianya. Kita tidak menggunakan infrastruktur untuk membentuk budaya," kata dia.