JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta dan banjir seolah menjadi satu hubungan yang terpisahkan. Sebagian besar wilayah DKI Jakarta selalu dikepung banjir ketika hujan deras mengguyur Ibu Kota.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta telah menjalankan sejumlah program kerja untuk menanggulangi bencana banjir di Ibu Kota.
Salah satu program banjir yang cukup diandalkan selama pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah naturalisasi sungai.
Selain itu, ada juga program gerebek lumpur, pembangunan drainase vertikal atau sumur serapan, hingga pengerukan kali. Meskipun begitu, upaya tersebut tetap tak mampu mencegah banjir Ibu Kota.
Baca juga: Dana Penanganan Banjir Jakarta agar Difokuskan ke Pembangunan Infrastruktur
Perlu diketahui, hubungan antara Jakarta dan banjir sudah terjalin sejak pemerintah Hindia Belanda. Jakarta yang kala itu masih bernama Batavia diketahui kerap dilanda banjir saat diguyur hujan lebat.
Sama seperti pemerintahan era Anies, pemerintah Hindia Belanda juga menjalankan sejumlah program untuk mengatasi bencana banjir di antaranya pembangunan sistem kanal.
Berikut ini catatan banjir di Jakarta selama pemerintahan Hindia Belanda.
Harian Kompas 10 November 2007 melaporkan, banjir besar pertama kali terjadi di Jakarta pada tahun 1621.
Catatan pertama dalam pemerintahan Hindia Belanda menyebut pos pertahanan VOC di Asia Timur yakni Jakarta yang dulunya masih bernama Batavia, dilanda bencana banjir besar. Kala itu, Batavia memiliki sistem kanal segi empat.
Baca juga: Terima Eksepsi Anies, Hakim Putuskan Gugatan Class Action Banjir Jakarta Salah Sasaran
Sistem kanal rancangan Jan Pieterszoon tersebut menyerupai tata letak Amsterdam di Belanda. Namun, sistem kanal yang dibangun pemerintahan Hindia Belanda tersebut gagal menjadi pengendali banjir di kawasan Jakarta.
Sistem kanal yang dibangun pemerintahan Hindia Belanda terbukti tidak mampu mengendalikan banjir di Jakarta. Banjir masih kerap terjadi di Jakarta pada tahun 1654, 1872, 1892, 1909, dan 1918.
Banjir pada tahun 1872 bahkan merendam sebagian besar wilayah Jakarta, di anaranya kawasan Kota Tua dan Harmoni. Banjir kala itu disebabkan meluapnya Kali Ciliwung setelah Jakarta diguyur hujan dengan curah 286 milimeter.
Koran Sin Po terbitan 1 Januari 1892, seperti dikutip Harian Kompas menyebutkan bahwa Jakarta kembali dilanda bencana banjir besar.
Harian Kompas mewartakan bahwa wilayah Weltevreden yang kini bernama Gambir, terendam banjir setelah diguyur hujan lebat selama 8 jam. Curah hujan saat itu tercatat 286 milimeter.
Banjir kemudian menjadi bencana tahunan di Jakarta. Setahun berselang, Jakarta kembali terendam banjir pada tahun 1893.
Baca juga: Gugatan Ditolak, Korban Banjir Jakarta 2020 Ajukan Banding
Kala itu, wilayah Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pasaruyan, Kebon Jeruk, Kemayoran Wetan dan Sumur Batu terendam banjir setinggi 1 meter.
Bencana banjir tersebut juga menyebabkan wabah kolera sehingga banyak warga Batavia meninggal dunia.
Bencana banjir besar kembali merendam Jakarta pada awal abad ke-20. Harian Kompas mencatat banjir pada tahun 1918 merupakan bencana banjir terbesar dalam pemerintahan Hindia Belanda.
Koran Sin Po edisi 19 Februari 1918, seperti dikutip Harian Kompas mencatat bahwa hampir seluruh wilayah Jakarta tergenang banjir mulai dari wilayah Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Tambora, Grogol, Kali Besar.
Banjir juga merendam rumah-rumah penduduk "Boemipoetra", Pasar Baru, dan Gereja Katedral. Para penduduk pun harus mengungsi ke kawasan Molenvliet atau sekarang dikenal dengan kawasan Monumen Nasional (Monas).
Baca juga: Sempat Tergenang, Banjir di TPU Karet Bivak Sudah Surut
Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai membangun saluran air dari Pintu Air Manggarai menuju Muara Angke pada tahun 1922. Saluran air tersebut dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat.
Meskipun begitu, sistem kanal dan saluran air yang dibangun pemerintah Hindia Belanda tidak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir.
Faktanya, banjir kembali merendam Jakarta pada tahun 1932 setelah saluran air tersebut. Banjir bahkan sempat menghanyutkan sejumlah rumah warga di sepanjang Jalan Sabang dan Jalan MH Thamrin.
Oleh karena itu, Banjir Kanal Barat dan Pintu Air Manggarai hanya dianggap mampu mengalihkan wilayah yang terdampak banjir.
Baca juga: Banjir di Pejaten Timur, Damkar Evakuasi Puluhan Orang
Ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jan Sopaheluwakan mengatakan banjir Jakarta tak akan bisa diselesaikan dengan sistem kanal. Alasannya, geologis Jakarta berbentuk cekungan.
Selain itu, kata Sopeheluwakan, kawasan utara Jakarta yakni Ancol dan Teluk Jakarta juga mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Sehingga, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut.
Air tersebut akhirnya terperangkap di cekungan besar Jakarta yang menyebabkan banjir.
Ketiga belas sungai itu adalah Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung.
”Itu sebabnya, Teluk Jakarta tidak bisa membentuk delta, seperti Delta Mahakam di Kalimantan. Endapan kasar yang dibawa sungai-sungai mengendap di cekungan Jakarta sehingga tidak sampai ke laut dan membentuk delta,” katanya, seperti dikutip Harian Kompas tanggal 18 Januari 2013.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.