JAKARTA, KOMPAS.com - Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mempertanyakan indikator yang digunakan pemerintah dalam menentukan zona merah Covid-19 di sebuah rukun tetangga (RT).
Dalam aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro, suatu RT disebut sebagai zona merah jika terdapat lebih dari 10 rumah dengan kasus konfirmasi positif Covid-19 selama tujuh hari terakhir.
Namun, Tri menilai, tak perlu menunggu separah itu untuk menetapkan suatu RT sebagai zona merah.
"Menurut saya itu salah ya. Saya sih, satu kasus Covid-19 itu kuning, dua kasus itu merah," kata Tri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (9/1/2021).
Jika suatu RT baru ditetapkan zona merah setelah terdapat 10 rumah yang memiliki kasus positif Covid-19, maka Tri meyakini penanganannya akan sulit.
Baca juga: Epidemiolog: PPKM Mikro Perlonggar Pembatasan, Orientasinya Bisnis, Harusnya Tak Diikuti Pemprov DKI
Ia tak yakin kebijakan dalam PPKM mikro bisa efektif. Belum lagi jika ada kasus yang tak terdeteksi karena pasien tanpa gejala.
"Bisa kacau balau kalau seperti itu," kata dia.
Tri menilai, PPKM mikro yang diberlakukan pemerintah ini hanyalah kebijakan yang berorientasi pada ekonomi ketimbang pencegahan Covid-19.
Ini bisa dilihat dari jam operasional mal dan restoran yang boleh buka sampai pukul 21.00 WIB, dari sebelumnya pukul 19.00 WIB.
Lalu, kapasitas pengunjung di restoran juga dikembalikan ke 50 persen dari yang sebelumnya 25 persen.
Begitu juga kegiatan perkantoran yang tadinya 25 persen work from office kini jadi 50 persen.
"Kebijakan ini justru menambah longgar pembatasan. Pemerintah pusat masih berkompromi, orientasinya bisnis dan ekonomi," kata Tri.
Baca juga: Pemkot Bekasi Klaim Sudah Terapkan Ketentuan PPKM Mikro Sejak 2020
Tri pun menyesalkan PPKM mikro yang ditetapkan pemerintah pusat ini harus diikuti oleh seluruh provinsi di Jawa dan Bali, termasuk DKI Jakarta.
Padahal, ia menilai, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta selama ini memiliki aturan yang lebih ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19.
"Harusnya DKI tidak mengikuti PPKM mikro dari pemerintah pusat, tapi justru mengetatkan PSBB tingkat sedang kemarin ke PSBB yang lebih berat," ujarnya.