Untuk urusan makan pun Sa'anih bergantung pada warung makan. Tak ada dapur di rumahnya. Bila keluarganya lapar, ia harus beli ke warung makan.
Waluyo terbata-bata ketika memikirkan harapannya kepada pemerintah. Pria berambut gondrong tersebut hanya tertawa. Sesekali ia menunduk seraya pesimis untuk menaruh harapan kepada pemerintah.
“Harapan sama pemerintah apa ya? Ya adalah (harapan). Tapi namanya pemerintah, orang-orang gini mana mau sih (diperhatikan). Ya pemulung kan namanya diasingkan. Sama Satpol PP diobrak abrik,” ujar Waluyo sambil menghela nafas.
Sebagai kaum yang marjinal, Waluyo sangat khawatir dengan kesehatan keluarganya. Tak ada kartu jaminan kesehatan di dompetnya. Berserah diri ke Allah SWT adalah 'jalan ninja' bagi Waluyo.
Anaknya pernah sakit. Ia hanya bisa pergi ke puskesmas. Jaminan kesehatan adalah satu dari mimpi Waluyo.
“Ya pengen sih ada jaminan kesehatan ya. Namanya (urusan) kesehatan ya pingin,” kata Waluyo.
Covid-19 pun jadi momok bagi Keluarga Waluyo. Masker yang sudah lusuh masih ia pakai. Karet pengaitnya pun kini sudah putus karena dijadikan mainan anaknya.
Pandemi Covid-19 ia akui sangat berdampak. Bantuan sosial pun tak ia dapatkan karena ia ber-KTP Jawa. Uluran tangan hanya hadir di awal-awal pandemi Covid-19.
“Paling (bantuan) dari itu doang, orang-orang dari panti, yayasan. Dulu doang. Dulu sering pokoknya. Seminggu bisa tiga kali tapi sekarang sudah ga ada,” ujar Waluyo.
Matahari mulai menghilang. Namun, impian Waluyo tak ikut hilang. Ia ingin kembali berdagang nasi goreng seperti dulu. Sebelum di Manggarai, ia pernah berjualan nasi goreng di Pademangan, Jakarta Utara.
“Kalau saya pengen jualan nasi goreng lagi. Kalau bisa sih punya tempat sendiri,” kata Waluyo.
Ia berpikir jika ada orang yang memberi sedikit modal, berjualan nasi goreng adalah pilihannya. Istrinya pun memuji nasi goreng buatan suaminya.
“Dia kalau bikin nasi goreng enak,” ujar Sa'anih sambil tertawa. Waluyo tampak malu dipuji istrinya.
Lafadz Al-Quran mulai menggema di sekitar Manggarai. Keluarga Waluyo masih asyik menikmati sore. Peluk kasih sayang Saanih dan Waluyo masih terasa hangat.
Sementara itu, roda-roda kereta masih menggilas rel dengan mulus. Namun, mulusnya jalan roda-roda kereta tak seperti kondisi keluarga Waluyo. Kemiskinan yang dialami keluarga Waluyo adalah potret nyata kehidupan orang pinggiran Jakarta yang termarjinalkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.