Deny setia menjawab panggilan-panggilan itu dengan kerja yang memuaskan. Popularitasnya sebagai penguras got jempolan terus menggelinding hingga kini ia dijuluki "Deny Manusia Got".
Belakangan, ia mengajak tiga kawannya --penjual kopi dan pemulung-- untuk ikut bersamanya memenuhi permintaan menguras got yang berdatangan. Deny lalu menamakan diri mereka: Markesot.
"(Markesot) saya yang bikin, (artinya) 'mari kita ngesot'," ujar Deny, senyumnya lebar.
Baca juga: Kisah Reza Nufa, 3 Bulan Jalan Kaki dari Ciputat ke Gunung Rinjani Wujudkan Mimpi
"Kita masuk ke gorong-gorong, ada kepiting masuk, ada belut masuk, gerak-gerak, kita keluar sampai ngesot-ngesot. Dari yang tadinya tiarap (di dalam gorong-gorong), jadi ngesot-ngesot. Itu perjuangan kita mencari nafkah."
Yang ditemui Markesot di dalam gorong-gorong yang lembap dan bau bukan cuma kepiting, belut, ular, kelabang, maupun aneka satwa imut lainnya; melainkan juga pelbagai barang yang mestinya tak bersemayam di situ: dari tusuk sate, spanduk, bambu, sampai kondom dan TV tabung.
Belum cukup, Markesot juga mesti bertungkus-lumus menghindari benda-benda tajam siap melukainya dalam gelap, seperti beling yang akhirnya menancap ke kaki Deny usai ia bertugas pada 20 Januari 2021 silam.
View this post on Instagram
Pekerjaan yang dilakoni Markesot bukan pekerjaan sembarangan. Bahkan, petugas yang digaji dengan pajak pun belum tentu mau melakukannya dengan kadar keseriusan setingkat Markesot.
Itu sebabnya Markesot laris-manis dan terus disibukkan oleh permintaan menguras gorong-gorong yang aroma lumpurnya saja bakal bikin orang menjauh.
"Enaknya kita enggak ada saingan. Minim lho saingannya kita, siapa yang mau? Ya, kan?" kata Deny.
Walau Markesot jadi pemain tunggal di "pasar" ini, bukan berarti Deny lantas kaya mendadak lantaran dapat memasang tarif sundul langit.
Baca juga: Perjuangan Anaci, Ibu 3 Anak yang Jadi Ojek Daring dengan Penghasilan Rp 10.000 Per Hari
Markesot kerap menerima panggilan menguras got untuk 1 RT sekaligus. Biasanya, setiap KK urun dana masing-masing Rp 100.000. Pekerjaan rata-rata baru rampung setelah 7 hari.
Anggaplah ada 60 KK di RT tersebut, maka Markesot meraup Rp 6 juta.
"Itu pun masih dipotong Rp 300.000 buat makan," sela Deny.
Sisa Rp 5,7 juta harus dipotong lagi Rp 1 juta untuk membeli karung. Selembarnya Rp 2.000 dan Markesot butuh sedikitnya 500 lembar karung.
Setelahnya, mereka kudu menyewa mobil pikap berkapasitas 50 karung, dengan ongkos Rp 150.000 sekali jalan. Itu artinya, butuh 10 rit, atau setara Rp 1,5 juta, untuk membuang seluruh karung berisi lumpur tadi.
Tersisa Rp 2,8 juta dan itu lah jatah mereka berempat.
Masing-masing dari mereka lalu akan menyisihkannya lagi untuk membeli vitamin agar tetap bugar selama seminggu bersitungkin dengan air limbah. Lain waktu, mereka mesti menyetok bedak pengusir gatal.
Markesot lagi-lagi harus belanja keperluan "dinas" lain, yaitu satu jeriken oli bekas dari bengkel terdekat dan minyak tanah. Cairan-cairan itu akan dibaluri ke sekujur tubuh, termasuk muka dan selangkangan, sebelum mereka mencelupkan diri ke gorong-gorong.
"Kayak kebakar lho, kalau kena lumpur got. Coba saja," ungkap Deny soal khasiat oli dan minyak tanah itu.
Selesai di sana? Lagi-lagi, belum.
Pekerjaan ini masih menyisakan satu hal yang mesti dibayar mahal oleh Deny. Bau comberan tak kunjung lindap dari badannya sampai 2 pekan, kendati ia setiap hari mandi.