JAKARTA, KOMPAS.com - Masjid Jami Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Tidak banyak yang mengetahui letak masjid ini lantaran bangunan masjid yang rendah terimpit banyak gedung tinggi di sekitarnya.
Masjid yang terletak di pinggir Jalan Hayam Wuruk Nomor 83, RT 009 RW 005 Kelurahan Maphar, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, ini terlihat kecil dan menyatu dengan tembok di jalan dekat trotoar.
Tampak luar pun tidak banyak terlihat ornamen masjid, hanya ada terali besi dengan penutup terpal yang dulunya dibuka luas sebelum pandemi Covid-19 merebak di Jakarta.
Namun, ketika memasuki masjid sarat sejarah yang dibangun sekitar tahun 1780-an ini, tampak sebuah pilar-pilar usang berwarna abu di tengah-tengah masjid.
Baca juga: Sejarah Panjang Masjid Istiqlal: Dicanangkan Soekarno, Diresmikan Soeharto, Direnovasi Jokowi
Pilar tersebut terlihat menyangga sebuah atap yang masih berbahan kayu dengan bentuk limas segi empat.
Pilar-pilar itu membentuk sebuah ruangan yang kira-kira berukuran 10x10 meter persegi.
Itulah bangunan awal dari Masjid Jami Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Didirikan di atas sebidang tanah milik Tuan Tschoa atau Kapitan Tamien Dossol Seng yang merupakan kepala kaum muslim Tionghoa pada tahun 1780-1797.
Tak banyak jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Tuan Tschoa yang dalam dialek hokkian disebut dengan kata Cai itu.
Hanya sebuah batu nisan yang bertuliskan "Xian bi Cai men zhi mu" yang berarti "makam wanita keluarga Cai" yang ada di halaman belakang masjid tersebut.
"Beliau seorang wanita yang meninggal 1257 Hijriah (tahun 1792 Masehi), marganya Cai," kata Ali Khendra memberikan penjelasan kepada Kompas.com mengenai tulisan mandarin yang ada di batu nisan kuburan di halaman masjid Jami Kebon Jeruk, Selasa (20/4/2021).
Baca juga: Masjid Raya KH Hasyim Asyari, Masjid Bernuansa Betawi yang Tak Sekadar Rumah Ibadah
Batu nisan bertuliskan mandarin itu menjadi satu-satunya saksi bahwa masjid yang kini telah berubah menjadi seluas 3.000 meter persegi itu dulunya didirikan oleh orang Tionghoa.
Ali Khendra yang akrab disapa Koh Ali juga merupakan orang Tionghoa di pecinan Glodok yang ikut aktif mengurus Masjid Jami Kebon Jeruk.
Meski tak memiliki hubungan darah langsung dengan keluarga Cai pendiri masjid, dia bisa membaca tulisan mandarin klasik dan bercerita makam tersebut merupakan makam istri pendiri Masjid Jami Kebon Jeruk.
Warga sekitar mengenal perempuan yang dimakamkan di Masjid Jami Kebon Jeruk itu bernama Fatimah Cai. Tapi, ada juga yang menyebut namanya adalah Aisyah.
"Tapi yang populer Fatimah, marga asli Cai," kata Koh Ali.
Wanita itu berasal dari Kabupaten Zhong Yang dan meninggal pada masa Dinasti Qing Kaisar Qian Long di tahun Ren Zi.
"Kalau dilihat, Kabupaten Zhong ada di Provinsi Shanxi," ucap dia.
Koh Ali mengatakan, banyak yang menyebut Fatimah Cai adalah seorang Tionghoa yang memeluk agama Islam sejak awal hidupnya, bukan seorang mualaf yang memeluk Islam ketika berada di nusantara.
Baca juga: Sejarah Masjid Cut Meutia, Pernah Jadi Kantor MPRS Sebelum Dijadikan Tempat Ibadah
Dia menyebutkan, Islam di Tionghoa banyak berkembang sebelum Mongolia menguasai dinasti China.
Seperti Cheng Ho misalnya, laksamana yang dikenal mengembara sampai ke nusantara, membawa Islam masuk ke Indonesia, khususnya di pesisir utara Pulau Jawa.
"Dia bukan mualaf, asli dari China sudah beragama Islam," ucap Koh Ali.
China muslim sebenarnya tidak terlalu mengejutkan di daerah Glodok. Corak masjid dengan dekorasi pecinan tidak hanya bisa ditemukan di Masjid Jami Kebon Jeruk.
Ornamen Masjid Lautze di Kelurahan Karang Anyar, Sawah Besar, yang juga dekat dengan wilayah Glodok, sangat terlihat jelas corak mandarinnya.
Halaman belakang masjid identik dengan kebun yang dipenuhi dengan pohon jeruk kala itu, sehingga dinamakan menjadi Masjid Jami Kebon Jeruk.
Renovasi dilakukan bertahap seiring dengan semakin banyaknya jemaah yang beribadah di tempat itu.
Sampai pada 1974, kelompok umat Islam yang dikenal dengan nama Jamaah Tabligh memilih masjid tersebut sebagai tempat berkumpul kelompok mereka.
"Dijadikan markas (Jamaah Tabligh) di tahun 1974. Jamaah Tabligh ini masuk ke Indonesia dari Kota Medan dan mendapat penerimaan yang baik sehingga berkembang mulai saat ini," ucapnya.
Baca juga: Kenangan soal Keinginan Tien Soeharto di Balik Megahnya Masjid At-Tin TMII
Setelah menjadi markas Jamaah Tabligh, banyak para pendatang Jamaah Tabligh lainnya yang ikut mampir dari penjuru dunia.
Kelompok jemaah yang didirikan oleh Syekh Maulana Ilyas Al Kandahlawi asal India ini memiliki amalan untuk pergi berdakwah mulai dari 3 hari sampai 4 bulan.
Mereka biasa menginap di masjid-masjid dan mengajak orang-orang di sekitar masjid yang mereka diami untuk menghidupkan amalan masjid, seperti shalat berjemaah di masjid dan memakmurkan masjid.
"Sekarang jemaah dari daerah-daerah di Indonesia masih sering mampir, juga dari luar negeri," kata dia.
Koh Ali menjelaskan, untuk menampung jemaah yang kian banyak, pada 1997, Masjid Jami Kebon Jeruk diperluas sampai ke belakang masjid dan menghabiskan halaman masjid yang dulu merupakan sebuah kebun.
Kini di belakang masjid terdapat bangunan berlantai tiga untuk tempat peristirahatan jemaah daerah lain dan jemaah dari luar negeri yang berziarah ke masjid tersebut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.