JAKARTA, KOMPAS.com - Lonjakan kasus Covid-19 sedang terjadi di sejumlah negara, terutama India dan Malaysia.
Padahal, kedua negara tersebut sempat mengklaim berhasil mengontrol laju kasus Covid-19.
Lantas, bagaimana India dan Malaysia justru kembali krisis kasus Covid-19? Berikut Kompas.com menjabarkan.
Baca juga: Travel Gelap yang Nekat Bawa Pemudik pada 6-17 Mei Bisa Kena Sanksi, Bagaimana Nasib Penumpangnya?
Serangan tsunami Covid-19 menyerang India terhitung sejak Februari 2021 lalu.
Dilansir dari Associated Press (AP), jumlah kasus positif Covid-19 di India telah melampai 20 juta orang per Selasa (4/5/2021).
Sebanyak 8 juta dari 20 juta kasus tersebut terjadi dalam tiga bulan terakhir.
Selain itu, total kematian akibat Covid-19 mencapai 220.000 korban jiwa.
Akan tetapi, sejumlah pakar yang diwawancarai AP meyakini bahwa angka kasus Covid-19 di India jauh lebih tinggi dari yang dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan.
Dugaan tersebut dilihat dari krisis pelayanan kesehatan di India akibat tsunami Covid-19.
Banyak rumah sakit di India yang kehabisan ranjang perawatan hingga oksigen yang dibutuhkan pasien. Tenaga medis yang terbatas pun kewalahan.
Baca juga: Deretan Sanksi bagi Warga yang Nekat Mudik Saat Larangan Mudik 6-17 Mei
Selain itu, tingginya angka kematian menyebabkan krematorium tidak sanggup menampung jenazah ataupun kehabisan tempat kremasi.
Hal itu menyebabkan antrean panjang terjadi demi mendapat penguburan yang layak bagi pasien yang meninggal karena Covid-19.
Situasi di India saat ini membuat banyak pihak heran mengingat negeri dengan total populasi 1,3 miliar itu adalah salah satu produsen vaksin bagi banyak negara.
India membuat vaksin bernama Covaxin yang dikembangkan Bharat Biotech / Dewan Penelitian Medis India.
Negara tersebut juga turut memproduksi vaksin dari Universitas Oxford, Inggris, bernama AstraZeneca. Vaksin ini diproduksi di Serum Institute, Pune, Maharashtra.
Sesungguhnya, lonjakan kasus Covid-19 di India tidak mengagetkan melihat banyaknya kegiatan kerumunan besar yang pemerintah izinkan.
Baca juga: Utang Nyawa Eks Preman Tanah Abang Hercules kepada Prabowo Subianto
Sejak awal tahun 2021, pemerintah India mengizinkan kegiatan festival agama Hindu dan kampanye politik dalam pemilihan negara bagian.
"Ini adalah krisis yang mengerikan,” kata Dr. Punyabrata Goon, penyelenggara Forum Dokter Bengal Barat, dilansir dari Kompas TV.
Punyabrata pun menyarankan agar pemerintah mempercepat vaksinasi ke masyarakat.
Untuk diketahui, India melakukan vaksinasi sebanyak 2,1 juta orang per hari atau sekitar 0,15 persen dari populasi.
Yang jadi persoalan, India justru sedang kekurangan dosis vaksin akibat kelambanan manufaktur dan kekurangan bahan baku.
Maka, jika tidak ada langkah nyata, krisis Covid-19 di India sepertinya masih jauh dari kata selesai.
Apalagi, mutasi virus corona sudah terjadi di India yang menyebabkan kasus Covid-19 di sana semakin parah.
Sementara itu, lonjakan kasus Covid-19 juga terjadi di Malaysia.
Malay Mail memberitakan, kasus aktif virus corona di Malaysia menembus angka 30.000 pada Minggu (2/5/2021) setelah ada penambahan 3.418 kasus harian.
Angka tersebut merupakan yang tertinggi di Malaysia sejak 24 Februari.
Baca juga: Polda Minta Tempat Wisata di Jakarta Tutup Saat Lebaran, Wagub: Nanti Kita Lihat...
Kementerian Kesehatan Malaysia melaporkan jumlah kasus Covid-19 parah tertinggi saat ini, dengan 345 orang membutuhkan perawatan intensif (ICU) dan 175 pasien butuh bantuan ventilator.
Kemudian, jumlah kematian secara total mencapai lebih dari 1.500 orang, termasuk 12 kematian baru yang dilaporkan pada Minggu (2/5/2021).
Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Noor Hisham Abdullah berpendapat, lonjakan kasus Covid-19 disebabkan oleh kelelahan masa pandemi atau pandemic fatigue.
“Lonjakan kasus Covid-19 baru-baru ini antara lain disebabkan oleh kelelahan pandemi,” ujar Noor, seperti dikutip dari The Star, Selasa (4/5/2021).
Baca juga: Cerita Penjual Jasa Penukaran Uang Jalanan, Nekat di Tengah Pandemi demi Kejar Rezeki
Hal itu menyebabkan masyarakat, menurut Noor, menjadi abai terhadap penerapan protokol kesehatan.
Adapun pandemic fatigue, menurut laman badan kesehatan dunia (WHO), adalah munculnya demotivasi untuk berbagai langkah perlindungan yang muncul secara bertahap karena dipengaruhi emosi, pengalaman, dan persepsi.
Akibat pandemic fatigue, orang-orang mulai mengabaikan cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak fisik yang sebelumnya dipatuhi.
Kelelahan pandemi disebabkan banyak hal, seperti seseorang kehilangan pekerjaan gara-gara pandemi.
Selain itu, keputusan pemerintah melonggarkan beberapa aturan demi keberlangsungan sektor ekonomi dinilai sebagai penyebab lain dari kenaikan kasus Covid-19 di Malaysia.
“Selain itu, aturan dilonggarkan, sektor ekonomi dibuka kembali, diadakan temu massal. Ini berkontribusi terhadap lonjakan kasus di mana-mana,” tambahnya.
Secara keseluruhan, Malaysia kini telah mencatat 2.500 kasus baru per Senin (3/5/2021) sehingga total kasus menjadi 417.512.
Menurut Noor, rumah sakit di Malaysia saat ini masih berjuang menangani pasien.
Dirinya hanya berharap Malaysia tidak diserang mutasi virus yang saat ini telah terjadi di beberapa negara.
Di DKI Jakarta, peningkatan kasus Covid-19 kerap terjadi ketika ada momen libur panjang, termasuk long weekend.
Lonjakan kasus pertama terjadi usai libur Hari Kemerdekaan RI dan Tahun Baru Islam pada 20-23 Agustus 2020.
Akibat libur panjang itu, jumlah akumulatif kasus mingguan Covid-19 pada pekan pertama bulan September 2020 naik hingga 30.000 kasus.
Padahal, pada Agustus 2020, jumlah akumulatif kasus mingguan Covid-19 di Jakarta adalah 13.000 kasus.
Akibatnya, Gubernur DKI Anies Baswedan menarik rem darurat dan kembali memperketat pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Baca juga: Kenangan Mantan Preman Hercules: Hampir Tiap Malam Ada Orang Mati di Tanah Abang
Kenaikan kedua terjadi usai libur Natal dan Tahun Baru 2021 di mana kasus Covid-19 di Jakarta bertambah 2.402 kasus baru pada 6 Januari 2021.
Saat itu, jumlah tersebut memecahkan rekor sejak Covid-19 pertama kali terdeteksi pada Maret 2020.
Lonjakan itu menyebabkan Jakarta sempat krisis ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU di rumah sakit.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman memprediksi, kenaikan kasus Covid-19 dapat terjadi selama periode Lebaran 2021.
Menurutnya, pemerintah semestinya tidak hanya membatasi mudik skala besar, tapi juga skala kecil.
Mudik berskala kecil yang Dicky maksud ialah mobilitas dalam satu wilayah yang berdekatan.
Untuk diketahui, pemerintah mengizinkan warga dalam satu aglomerasi untuk mudik saat Lebaran 2021.
"Yang sebetulnya dimaksud ini adalah semua aktivitas dalan kaitan mudik, yang melibatkan pergerakan orang keluar dari zonanya. Meskipun dia dalam satu kota sebetulnya tetap berisiko (menularkan) apalagi ke luar daerahnya,” jelas Dicky pada Kompas.com, Selasa (4/5/2021).
“Seperti (masyarakat) di Bodetabek itu luar biasa berdekatan, nah ini harus disadari oleh pemerintah daerah maupun masyarakat,” sambungnya.
Dicky juga mengingatkan masyarakat untuk menahan diri mengingat varian B.1.1.7 asal Inggris, varian mutasi ganda B.1.617 asal India dan B.1.351 dari Afrika Selatan sudah ada di Indonesia.
Mutasi virus SARS-COV-2 tersebut diyakini memiliki daya penularan yang lebih tinggi, sehingga infeksinya bisa bertambah cepat di masyarakat.
“Kondisi kita ini sudah sangat serius, karena varian baru lebih infeksius, lebih menular, potensi penularannya bisa sampai 70 persen dari pada varian sebelumnya. Kalau sudah lebih menular berarti akan lebih banyak kasus infeksi baik yang ringan sampai yang parah,” jelas Dicky.
Apabila terjadi, rumah sakit akan kembali terbebani dengan kenaikan kasus Covid-19 di Jakarta khususnya.
(Reporter: Bernadette Aderi Puspaningrum, Ardi Priyatno Utomo, Aditya Jaya Iswara, Nur Rohmi Aida, Tatang Guritno / Editor: Inggried Dwi Wedhaswary, Krisiandi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.