JAKARTA, KOMPAS.com - Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, begitu lekat dengan kontroversi.
Pada era kepemimpinannya, industri seks dilokalisasi dan dibuat terpusat di wilayah Kramat Tunggak, Jakarta Utara.
Tak hanya itu, penerus Soemarno Sosroatmodjo ini juga memperbolehkan judi dan kemudian memungut pajak atasnya.
Ali Sadikin sadar, akibat manuver-manuver tak populer itu, dirinya dijuluki "Gubernur Judi" bahkan "Gubernur Maksiat".
Namun, ia tidak pernah gentar karena tahu bahwa semua itu dilakukan demi pembangunan Jakarta yang lebih baik.
Di awal menjabat, Ali Sadikin terkejut ketika mengetahui APBD DKI Jakarta hanya berjumlah Rp 66 juta. Itu termasuk hasil pungutan pajak dan subsidi dari pemerintah pusat.
Dia pun mendatangi sejumlah pejabat senior untuk mencari jalan menambah anggaran pendapatan.
Sekretaris Daerah DKI Jakarta saat itu, Djumadjitin, menunjukkan padanya Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas izin perjudian.
Hanya saja, imbuh Djumadjitin, gubernur-gubernur lain tidak berani melakukannya.
"Saya berani. Untuk keperluan rakyat Jakarta, saya berani," jawab Ali Sadikin, seperti yang tertulis dalam buku Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi.
Baca juga: Ulang Tahun Ke-494 Jakarta dan Kontroversi Para Gubernurnya
Ali Sadikin tahu persis bahwa judi itu ada di Jakarta dan di belakangnya ada oknum-oknum tertentu yang melindunginya, yang hidup daripadanya.
"Lebih baik disahkan saja daripada dibiarkan liar dan tidak menghasilkan apa-apa untuk pemerintah, untuk rakyat," tegasnya.
Ali Sadikin sadar bahwa judi di agama manapun dilarang, dan keputusannya untuk melegalisasi judi akan banyak ditentang.
Tetapi, menurutnya, judi diatur hanya untuk kalangan tertentu saja, yakni orang-orang yang memang tidak bisa hidup tanpa judi.
Mereka bahkan sengaja pergi ke Makau dan menghambur-hamburkan uang di sana untuk berjudi.
Baca juga: Kado Ulang Tahun Ke-494 Jakarta, Lonjakan Covid-19 hingga RS Terancam Kolaps