Fenomena pamer gaya hidup itu, menurut saya, ada sisi positif dan negatifnya. Hal positif adalah banyak anak muda mempunyai kepekaan dalam memanfaatkan media sosial untuk kegiatan branding.
Hal itu membuat mereka mempunyai pendapatan dari hasil kegiatan, yang anggaplah sebuah kreatifitas.
Anak-anak muda itu perlu difasilitasi untuk mengembangkan kreatifitas sesuai kemampuan mereka.
Adanya Tiktok, Instagram, Facebook telah membuat nama mereka tenar dan bisa menciptakan trend baru.
Namun, kegiatan yang memanfaatkan fasilitas umum membawa dampak lain, yaitu terganggunya aktifitas para pengguna jalan.
Di saat Covid-19 masih merajalela, berbagai kerumunan masyarakat terutama di lokasi tersebut rawan terjadi penularan.
Seringnya kegiatan digelar tanpa kenal waktu akan membuat masyarakat cepat bosan dan lama-lama akan menghilang.
Pengaruh negatif lainnya adalah budaya pamer dengan dandanan yang cenderung terpengaruh budaya luar (Korea, Jepang, Barat).
Lebih bagus jika menampilkan kekhasan budaya setempat, misalnya, untuk Citayam Jakarta bisa menampilkan outfit budaya lokal seperti Betawi dan Sunda.
Lebih bagus lagi kegiatan fashion itu menampilkan brand-brand lokal yang pendekatan desainnya lebih ke kekayaan budaya.
Baru-baru ini di Malioboro juga muncul fenomena pamer baju kebaya. Penyesuaian budaya lokal yang tidak kalah.
Bukan mengecilkan fenomena Citayam Fashion Week. Perlu dipikirkan bahwa kegiatan itu sebaiknya tidak dilakukan setiap hari, namun bisa diadakan setiap akhir pekan atau sebulan sekali.
Dengan pengelolaan lebih tertata melibatkan aparat hingga pengamat mode, anak-anak muda bisa menampilkan gaya busana yang selaras dengan perkembangan kejiwaan mereka.
Mereka juga harus sadar tetap menjaga kebersihan lingkungan dan protokol kesehatan.
Para artis pun sebaiknya tidak memanfaatkan popularitas para remaja itu untuk kepentingan pribadi.