JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Sumber Daya Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Miftahul Huda, mengungkapkan debu batu bara berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya.
Debu batu bara yang melebihi ambang batas berisiko memengaruhi kondisi kesehatan warga yang terpapar.
"Tentu saja debu (batu bara) dalam jumlah di atas ambang batas berpengaruh tidak baik pada lingkungan dan kesehatan seperti timbulnya penyakit terkait pernapasan seperti asma, bronkitis, dan lain-lain," ucap Miftahul saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/9/2022).
Baca juga: Berulangnya Pencemaran akibat Debu Batu Bara di Marunda, Anak Saya Batuk sampai Sesak Napas...
Efek jangka panjang pada kesehatan masyarakat tergantung dari konsentrasi debu yang masuk ke pernapasan. Dilihat pula pada seberapa lama seseorang terpapar debu batu bara setiap harinya.
"Tentu akan beda impact-nya ke orang per orang. Oleh sebab itu dibuat peraturan yaitu nilai ambang batas emisi debu," jelasnya.
Adapun berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja, emisi debu dibatasi pada nilai kurang dari 0,9 mg per meter kubik.
Apabila terjadi emisi debu di atas nilai ambang batas, maka menurutnya, perlu dicari siapa yang bertanggung jawab terkait dengan kejadian itu.
Sebelumnya diberitakan, bahwa debu batu bara di wilayah Cilincing, Jakarta Utara kembali mencemari lingkungan warga yang tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda.
Menanggapi hal tersebut, Miftahul menyampaikan komposisi debu yang diduga berasal dari batu bara harus diperiksa terlebih dahulu.
Baca juga: Cara Warga Rusun Marunda Lindungi Diri dari Paparan Debu Batu Bara...
"Apakah ini merupakan debu batu bara murni atau campuran dengan tanah. Untuk itu perlu dianalisa kandungan abu dari debu yang dikeluhkan tersebut," imbuhnya.
Umumnya kandungan abu atau debu batu bara indonesia kurang dari 15 persen. Sehingga, apabila nanti hasil analisa debu menunjukkan kadar abu lebih dari 15 persen sudah dipastikan bahwa itu bukan hanya berasal dari batu bara saja.
Dikatakan oleh Miftahul, penanganan debu batu bara sendiri bukan hal baru di Indonesia. Pasalnya, di tahun 2021 Indonesia telah memproduksi batu bara sebesar 606 juta ton.
Kemunculan, debu batu bara sendiri muncul disebabkan karena berbagai faktor, mulai dari proses penambangan, pengangkutan, dan penyimpanan batu bara.
"Dengan memproduksi batu bara 606 juta ton tentu akan menimbulkan emisi debu yang signifikan kalau tidak dikendalikan," papar Miftahul.
Baca juga: Debu Batu Bara Kembali Cemari Rusun Marunda, Warga: Kondisinya Memprihatinkan
"Pengendalian debu bukan hal baru bagi industri batu bara dan peraturan nilai ambang batas debu batu bara juga sudah ada," tambahnya lagi.
Dalam kasus debu di Rusunawa Marunda ini, kata dia, perlu diinvestigasi penyebabnya dan dicarikan upaya penyelesaian sehingga pihak perusahaan dapat melanjutkan usahanya namun tidak merugikan masyarakat.
Sementara itu, pengurus Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM), Cecep Supriyadi, berkata pencemaran debu batu bara kembali terjadi sejak Sabtu, 3 September 2022.
Namun, dia belum bisa memastikan pihak mana yang bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran debu batu bara di Rusunawa Marunda.
"Kondisinya sangat memprihatinkan sekali, memang banyak sekali sisa debu-debu itu yang menempel di lantai hunian masyarakat di rusun maupun sekitarnya," ungkap Cecep saat ditemui Kompas.com, Senin (5/9/2022).
Akibat dari pencemaran debu batu bara tersebut, Cecep mengaku telah melaporkan kepada Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara. Ia pun masih menunggu respons dari laporannya tersebut.
Baca juga: Keluhkan Polusi Debu Batu Bara di Marunda, Warga: Anak-anak Batuk dan Pilek
"Kita belum tahu ya, karena kita masih menunggu hasil dan katanya akan diinvesitigasi segera. Tapi kita belum ada kabar ya, sampai saat ini pencemaran masih ada," jelasnya.
Pencemaran debu batu bara bukan kali ini saja terjadi. Pasalnya, warga Marunda pada Maret lalu pernah merasakan pencemaran debu batu bara.
Kala itu banyak warga, baik anak-anak maupun dewasa yang mengeluhkan gejala ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), gatal-gatal dan iritasi mata.
"ISPA dan gatal-gatal itu yang paling banyak dialami masyarakat. Pada saat pencemaran itu terjadi memang yang paling banyak dialami mereka kena ISPA, sesak napas dan terasa gatal di kulit," ucap Cecep.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.