JAKARTA, KOMPAS.com - Beragam cerita datang dari nelayan tradisional di Pelabuhan Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara selama melaut.
Maryadi (47), salah seorang nelayan tradisional di Pelabuhan Muara Angke, membagikan kisah tak terlupakan selama puluhan tahun menjadi nelayan.
Sembari memperbaiki jaring ikan miliknya, ia mengingat-ingat kembali kisah tak terlupakan saat sedang melaut.
Baca juga: Kisah Maryadi, Nelayan Tradisional Muara Angke yang Berjuang Sekolahkan Anak hingga Sarjana
Kala itu, dia sedang berada di kawasan Kepulauan Seribu, tempatnya sering mencari ikan.
Meski tidak ingat kapan tepatnya peristiwa itu terjadi, dia mengatakan mesin perahu berukuran 2 gross tonnage (GT) miliknya memang kerap mati ketika berada di lautan.
"Susah jadi nelayan kalau kena hujan angin, kalau mesin mati di tengah laut, itu susahnya. Sering kejadian mesin mati di tengah laut," kata Maryadi saat ditemui Kompas.com, Senin (26/9/2022).
Meski harus menelan kenyataan pahit karena mesin kapal mati, dia masih bisa menggunakan ponsel untuk menghubungi nelayan lain untuk membantu.
"Sekarang enaknya ada handphone, kalau ada sinyal kan ngabarin, nanti teman nyamperin kasih solar," imbuh dia.
Duka menjadi nelayan tradisional selama 35 tahun tak hanya sampai di situ.
Baca juga: Imbas Adanya Pulau G, Rute Melaut Nelayan Muara Angke Jadi Lebih Jauh
Perahu Maryadi juga pernah terbalik lantaran badai yang menyebabkan ombak besar.
Sekitar tahun 2021, kapal nelayannya dibawa oleh anak buah kapal (ABK) untuk menangkap ikan. Saat itulah kapal terbalik dan membuat para ABK terjatuh ke lautan.
"Pernah dua kali perahu tenggelam, terbalik saat lagi angin kencang antara bulan Desember sampai Februari. Nelayan jadi susah, enggak berangkat karena angin kencang dan hujan," ungkap dia.
ABK yang saat itu membawa kapalnya harus mengapung di permukaan laut selama sehari semalam.
Baca juga: Nelayan Muara Angke Minta Diprioritaskan sebagai Penghuni Pulau G
Dengan bantuan pelampung, mereka mecapai kapal nelayan terdekat untuk meminta bantuan.
"Sehari semalam pakai pelampung, Karena kan masih di pinggiran dan masih banyak nelayan lain," ujar pria asal Indramayu, Jawa Barat itu.
Cuaca dan limbah, menjadi faktor sedikitnya hasil tangkap laut yang didapatkan Maryadi.
Baca juga: BERITA FOTO: Mengenal Lebih Dekat Warga Kampung Nelayan Cilincing dengan Segala Aktivitasnya
Menurut dia, limbah yang mencemari lautan membuat ikan kehilangan habitat aslinya sehingga mereka mati atau berpindah ke area lain.
"Paling sedikit saya bawa ikan satu ekor. Karena cuaca, sama airnya kena limbah pabrik. Itu berdampak juga, jadi ikan bisa kabur," kata dia.
Adapun Maryadi bersama ABK mulai mempersiapkan diri untuk pergi mencari ikan di lautan saat sore hari.
Tak lupa dia membawa perbekalan berupa beras, mi instan, kopi instan, kental manis, dan air mineral.
Baca juga: Melihat Lebih Dekat Pusat Pengupasan Kerang Hijau di Kampung Nelayan Cilincing...
Sekali berlayar, nelayan tradisional membutuhkan waktu hingga dua hari apabila tangkapan sedikit. Sebaliknya, mereka akan pulang lebih cepat jika tangkapannya banyak dan bisa dijual ke pengepul.
"Biasa saya melaut itu pagi hari, tapi sekarang berangkatnya mulai sore sampai pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB baru saya balik ke daratan," jelas Maryadi.
Jenis seperti ikan barakuda, ikan kuro, dan ikan kembung yang sudah ditangkap, nantinya dijual ke pengepul di Pasar Ikan Muara Angke, yang tak jauh dari lokasi pelabuhan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.