”Dulu belum ada angkutan. Kami berjalan kaki. Kalau yang ekonominya agak bagus, bisa naik sepeda ontel. Angkutan yang lain, menggunakan rakit melalui Sungai Cisadane. Kalau mau ke Jakarta, naik kereta dari Stasiun Serpong. Kalau mau pulang dan ketinggalan kereta, terpaksa harus jalan kaki semalaman,” tutur Bahrudin mengenang.
Baca juga: Kronologi Perampokan Toko Emas di Mal Kawasan Serpong: Datang, Tembak, Sikat lalu Kabur
Kereta api saat itu masih kereta api uap. Banyak pula orang duduk di atas atap kereta sehingga setiba di tujuan, wajah mereka dipastikan legam terkena asap hitam batubara.
”Lama-kelamaan mulai ada angkutan mobil reo, truk yang membawa pasir dan batu dari Gunung Sindur. Tahun 1958, mulai ada angkutan VC, bekas mobil perang, dibeli masyarakat, diberi tutup terpal, melayani arah Kota Tangerang sampai Serpong dan Gunung Sindur,” ungkap Bahrudin.
Apang Asmara, warga Kampung Cikareo, Serpong, mengatakan, dulu banyak warga Serpong bekerja di kebun karet sebagai penyadap karet.
Selain komoditas karet, Serpong juga banyak ditanami varietas kelapa kuning pada zaman Orde Baru.
Tahun 1984-1985, pengembang mulai masuk Serpong dan membeli tanah warga untuk dijadikan perumahan. Kini, Serpong dipenuhi permukiman elite dan kawasan komersial.
Saking menjualnya nama Serpong, saat ini perumahan yang lokasinya sudah tidak di Serpong lagi, misalnya di Kecamatan Setu, Gunung Sindur, bahkan Ciseeng (sekitar 15 kilometer dari Serpong), masih menggunakan nama Serpong.
Baca juga: Batik Betawi, Langgam yang Kini Mulai Pudar dan Terlupakan
Beralihnya kebun karet juga mengubah pola transportasi. Kini tersedia berbagai pilihan moda transportasi menuju Serpong.
Selain kereta listrik yang semakin ramai saat jalur ganda beroperasi tahun 2007, juga tersedia jalan tol dan bus transjakarta. Kemudahan akses ini membuat Serpong kian diminati.
Namun, Iging berharap warga asli Serpong tidak hanya menjadi penonton di tengah gemerlap Serpong saat ini.
Dengan harga tanah yang melangit dan biaya hidup yang kian tinggi, warga asli Serpong, yang dahulu memiliki tanah itu, kini terimpit.
”Sekarang banyak yang menyesal. Tetapi, semua sudah terjadi. Semoga saja pemberdayaan bisa dilakukan sehingga warga juga bisa menjadi pemain, pelaku usaha, dan bisa bersaing dengan yang lain,” harap Iging. (Kompas : Amanda Putri Nugrahanti)
Artikel ini telah tayang di harian Kompas dengan judul "Serpong, Hutan Karet yang Beralih Rupa"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.