JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kini dipimpin oleh penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono setelah Anies Baswedan lengser dari jabatan Gubernur pada 16 Oktober 2022 kemarin.
Di hari keduanya bertugas sebagai Pj Gubernur DKI, Heru kembali menerapkan tradisi yang sebelumnya tidak berjalan selama masa kepemimpinan Anies.
Salah satu tradisi yang dinanti-nantikan kembali kehadirannya adalah sistem pengaduan masyarakat. Sistem ini sempat diterapkan di era Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pada Selasa (18/10/2022), sejumlah meja disusun di pendopo Balai Kota untuk menerima pengaduan warga.
Tampak beberapa aparatur sipil negara (ASN) dengan baju dinas berwarna khaki duduk di balik meja menunggu kehadiran warga yang ingin mengadu.
Sejumlah warga juga tampak duduk di seberang pegawai Pemprov DKI menyampaikan keluhan mereka.
Baca juga: Jangan Main-main, Pj Gubernur DKI Heru Budi Bisa Berhentikan dan Mutasi PNS yang Bermasalah…
Salah satu warga bernama Martina Gunawan mengadu karena kliennya memiliki masalah sengketa lahan dengan Pemerintah Provinsi DKI.
Lahan tersebut berada di Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, tepatnya di depan Universitas Respati Indonesia.
"Kami mengajukan lahan ini untuk dibebaskan oleh Pemprov DKI Jakarta, mulai dari tahun 2016. Setelah dilihat zonasinya, lahan milik kami ini hijau, sehingga kami diberikan disposisi," kata Martina di Balai Kota DKI, Selasa pagi.
Martina mengaku, ia juga dimintai uang oleh petugas Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI guna mempercepat penyelesaian pembebasan lahan milik kliennya. Permintaan itu sejak 2019.
"Saya ditelpon, bukan saya yang mengajukan, oleh salah stafnya di dinas untuk hadir, untuk bikin komitmen," kata Martina.
Baca juga: Pj Gubernur Heru Budi kepada ASN Pemprov DKI: Prestasi yang Sudah Ada Tolong Dijaga
"Saya disuruh datang ke dinas dan disediakan waktunya, ruangannya. Ada pejabatnya, transaksi berlangsung," ujar dia. Namun, Martina tidak pernah memberikan uang sepeser pun.
Ia mengaku dimintai uang dengan jumlah bervariasi, mulai dari Rp 150 juta hingga 2,5 persen dari harga total tanah oleh salah satu petugas di unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI.
Martina berharap, laporannya itu ditindaklanjuti Pemerintah Kota Jakarta Timur dan Pemerintah Provinsi DKI.
"Saya sudah mengadu lebih dari 10 kali, baik ke gubernur yang lama, baik ke camat, wali kota, RT/RW, dan tidak ada sambutan untuk kami ke permasalahannya. Pengaduan udah dimulai tahun 2019," kata Martina.
"Kami merasa dilakukan tidak profesional, memihak, bertele-tele, dan ada permintaan uang di sini, yang terus terang kami sebagai warga biasa kami mengalami kebingungan," tutur dia.
(Penulis : Nirmala Maulana Achmad/ Editor : Jessi Carina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.