JAKARTA, KOMPAS.com - Pimpinan DPRD DKI Jakarta dinilai menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas terlambatnya pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) DKI Jakarta Tahun Anggaran 2022.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, pengambilan keputusan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang APBD-P dilakukan paling lambat tiga bulan sebelum berakhir tahun anggaran.
Dengan demikian, batas waktu yang diberikan untuk pengesahan APBD-P adalah 29 September 2022, atau sebelum Anies Baswedan dan Riza Patria purna tugas.
Namun, hingga Anies lengser dan posisinya digantikan oleh Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono, DPRD DKI masih menggelar rapat pembahasan dan proses sinkronisasi Raperda APBD-P Tahun Anggaran 2022.
Baca juga: Telat Bahas APBD-P 2022, DPRD DKI Bakal Sahkan lewat Pergub
Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono menilai pimpinan DPRD DKI paling bertanggung jawab atas keterlambatan itu.
"Kalau itu (telat pembahasan) mah tanya pimpinan dewan kenapa sampai enggak kebahas," kata Mujiyono, Kamis (20/10/2022).
Ia menegaskan, para pimpinan DPRD DKI juga adalah anggota badan anggaran (banggar) sehingga seharusnya mengerti betul penyebab di balik keterlambatan pembahasan APBD-P DKI.
Selain itu, proses surat-menyurat terkait pembahasan APBD-P DKI ini juga ada di pimpinan dewan.
"Kan muaranya, muara surat-suratnya, ada di situ (pimpinan DPRD DKI)," sambung dia.
Di sisi lain, ia mengungkapkan bahwa penyampaian draf APBD-P dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI kepada DPRD DKI telah sesuai dengan jadwalnya.
Hal ini Mujiyono ketahui berdasarkan penuturan Pemprov DKI.
"Kalau tanya ke eksekutif (Pemprov DKI) menurut mereka, (penyerahan draf APBD-P 2022) on time," ucap dia.
Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Achmad Yani merupakan pihak yang mengungkapkan bahwa pembahasan soal APBD-P tak sesuai dengan jadwal yang seharusnya.
Yani pun mengungkapkan APBD-P tahun 2022 bakal disahkan melalui peraturan gubernur (pergub) dan bukan melalui peraturan daerah (perda) akibat keterlambatan ini.
Konsekuensinya, perubahan program dalam APBD-P hanya bisa dilakukan untuk kategori darurat dan mendesak (darsak).
Ketentuan kategori itu tercantum dalam Pasal 69 PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
"Konsekuensinya kalau (APBD-P disahkan) dengan pergub, kalau ada pergeseran-pergeseran (program dalam APBD-P), maka yang harus dilakukan adalah (program) harus termasuk kategori darsak," tutur Yani.
Baca juga: APBD-P DKI 2022 Disahkan Lewat Pergub, F-PKS: Harus Berisi Program Darurat dan Mendesak
Ia menegaskan bahwa DPRD DKI dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus menaati PP Nomor 12 Tahun 2019.
Yani menegaskan, jika yang termasuk dalam APBD-P 2022 merupakan program non-darsak, DPRD DKI-Pemprov DKI harus menanggung akibatnya.
"Saat kita buat aturan, kita harus sepakat pada aturan. Kalau tidak taat pada aturan konsekuensinya, kita (DPRD DKI-Pemprov DKI) semua yang akan menanggung," sebutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.