Di mana komunitas biasanya disebut demikian karena di dalamnya memiliki nilai-nilai yang mengikat antara anggota suatu entitas.
Misalnya komunitas pencinta sepeda. Sepeda telah menjadi alat atau instrumen yang membuat anggota dalam komunikasi itu terikat.
Begitu pun komunitas-komunitas lain, seperti komunitas pelari, komunitas penggemar motor besar, komunitas vloger dan sebagainya.
Inti dari satu entitas yang disebut komunitas biasanya memang memiliki instrumen yang membuat mereka merasa beririsan di antara anggotanya. Di atas komunitas ada masyarakat yang jauh lebih kompleks.
Entitas tingkat RT itu bisa disebut sebagai masyarakat. Disebut demikian karena di dalamnya ada aturan yang mengelola hubungan antaranggota dalam berbagai interaksi tersebut.
Juga ada reward serta sanksi yang memungkinkan setiap entitas menerimanya sebagai ketentuan yang harus ditaati bersama.
Komunitas tidak tumbuh alamiah. Artinya, komunitas hadir dibentuk dan dirawat, sehingga eksistensinya diakui dan dirasakan, minimal oleh anggotanya.
Hubungan-hubungan dalam komunitas biasanya sudah tidak lagi mekanistik, justru organik. Setiap anggota membangun kesadaran sendiri tentang bagaimana empati, peduli, menghargai, dan sebagainya di dalam komunitasnya.
Komunitas juga bisa memudar seiring dengan meluruhnya nilai-nilai yang selama ini menjadi pengingatnya.
Faktor meluruhnya ikatan dalam komunitas biasanya karena sudah hilangnya kepercayaan kepada anggota di dalam komunitas tersebut dengan berbagai sebab. Ketidak percayaan ini pula yang kemudian bisa “menggusur” berbagai sikap positif dalam bermasyarakat.
Kembali ke persoalan yang dibahas di atas, untuk menemukan faktor apa yang menyebabkan keluarga itu tidak menemukan spirit komunitasnya.
Ada beberapa analisis yang bisa dijelaskan. Pertama, memudarnya semangat berkomunitas seiring dengan berbagai faktor yang membuat sesama anggota masyarakat menjadi “jauh”.
Lihat saja, ada banyak hal yang membuat kita bisa tidak perlu berinteraksi dengan sekitar. Belanja harian bisa sistem daring; begitu juga hal lain.
Bahkan, melawat kepada orang yang mendapatkan musibah kematian saja, kita bisa merasa cukup hadir secara online.
Kedua, minimnya interaksi antarsesama. Memang untuk berinteraksi di zaman serba gawai dan online ini, memerlukan effort tersendiri.