BERANGKAT kerja pada pagi hari dan sebaliknya pulang kerja pada sore hari, keduanya sama-sama menjadi persoalan besar bagi warga yang tinggal dan atau beraktivitas di Jakarta dan sekitarnya. Ini menjadi lebih-lebih lagi bagi mereka yang menggunakan kendaraan pribadi.
Akankah kemacetan tetap harus menjadi rutinitas yang dijalani setiap berangkat kerja dan pulang kerja? Selain berangkat lebih awal dan pulang lebih lambat, adakah alternatif solusi lain?
Kemacetan berikut segala dampak ikutannya adalah keniscayaan di waktu-waktu tersebut. Waktu tempuh di jalan menjadi teramat panjang. Pembengkakan konsumsi bahan bakar terjadi. Produktivitas pun turun. Belum lagi, risiko gangguan psikologis dari kondisi rutin itu.
Riset yang dilakukan Syaukat dkk (2014) menunjukkan, kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta, khusunya di Jalan Jenderal Sudirman, menimbulkan kerugian ekonomi Rp 19,72 triliun per tahun.
Di dalan penelitian berjudul Valuasi Ekonomi Dampak Kemacetan Lalu Lintas di DKI Jakarta yang diterbitkan Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah itu, Syaukat dkk menemukan bahwa kerugian akibat kemacetan itu disumbangkan oleh inefisiensi bahan bakar minyak, penurunan produktivitas pekerja, peningkatan biaya kesehatan, dan kerugian akibat tekanan psikologis.
Khusus mengenai kerugian akibat tekanan psikologis, sekalipun menduduki penyebab paling buncit, bukan berarti efeknya bisa disepelekan. Laporan Kompas.com dengan judul Ngeri, Efek Psikologis Negatif Akibat Kemacetan yang dilansir pada 14 September 2015 menggambarkan hal tersebut.
Waktu tempuh berkendara yang mestinya hanya sekitar 20 menit, seturut jarak yang relatif dekat, terkadang mesti dijalani hingga sekitar dua jam. Akibatnya, tak jarang terjadi saling meneriaki dan memaki bahkan berkelahi di jalan.
Orang-orang terdekat yang berhubungan dengan mereka yang terdampak secara psikologis tersebut juga rentan turut menanggung akibatnya.
Karena itulah, strategi untuk mengurangi waktu tempuh dalam perjalanan sangat dibutuhkan. Praktiknya bisa dilakukan dengan berangkat lebih pagi atau sekalian lebih siang guna menghindari jam sibuk (rush hour). Sebaliknya, pulang ke rumah bisa dilakukan lebih awal pula atau lagi-lagi sekalian lebih telat dari jam pulang kantor yang ditetapkan.
Akan tetapi, tentu saja tidak semua lokasi tinggal di kawasan DKI Jakarta dan sekitarnya memiliki kondisi lalu lintas yang sama. Jam sibuk di ruas jalan tertentu pun berbeda-beda.
Diperlukan pengetahuan (knowledge) yang relatif mendalam mengenai informasi-informasi tersebut, agar diperoleh wawasan (insight) baru yang bisa diterapkan dalam pengambilan keputusan terkait jam berangkan dan pulang kerja.
Keputusan terbaik yang diambil pun bakal berdasarkan kearifan (wisdom) untuk menghindari pemborosan bahan bakar minyak, penurunan produktivitas pekerja, peningkatan biaya kesehatan, dan kerugian akibat tekanan psikologis.
Untuk mengetahui hal tersebut, Kudu mengumpulkan data dan informasi guna diproses menjadi pengetahuan. Di dalam konteks ini, data diperoleh dengan mengambil waktu tempuh dari seluruh koordinat tengah (centroid) kelurahan di wilayah Jabodetabek ke kawasan Senayan.
Pemilihan kawasan Senayan sebagai tujuan karena lokasi ini merupakan titik nol peta jalan Jakarta sekaligus diasumsikan berdekatan dengan sejumlah lokasi kerja, Gedung DPR, serta relatif dekat dengan kawasan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto yang merupakan sentra bisnis Ibu Kota.
Selain itu, Senayan juga dipilih karena di lokasi itulah tempat didirikannya sejumlah bangunan bersejarah seperti Stadion Gelora Bung Karno dan Gedung TVRI yang terkait dengan penyelenggaraan Asian Games IV/1962. Pembangunan untuk hajatan ini tercatat pula dalam sejarah sebagai peristiwa penggusuran pertama di Indonesia.