JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio (20), putra eks Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo, telah mencuri perhatian publik.
Mario telah menganiaya seorang remaja berinisial D (19), sampai korban mengalami koma dan harus dirawat di rumah sakit.
Perkara kasus ini pun terus bergulir dan banyak pihak menaruh perhatian terhadap insiden tersebut.
Salah satunya adalah sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) AB Widyanta atau Abe yang menilai perkara tersebut beragam aspek sosial.
Abe menjelaskan, para tersangka tindak kekerasan sangat mungkin saling memengaruhi sehingga mengakibatkan kekerasan itu terjadi.
"Saat ini kan ada tersangka-tersangka baru dalam kasus ini, tetapi saya tidak tahu, apakah keterlibatan tersangka-tersangka baru itu ternyata ikut ambil bagian untuk membikin pengaruh bagi pelaku yang melakukan pemukulan," ujar Abe kepada Kompas.com, Selasa (7/3/2023).
Baca juga: Hari Ini, Polda Metro Jaya Periksa AG Pacar Mario sebagai Pelaku Kasus Penganiayaan D
Ia menjelaskan, keterlibatan tersangka-tersangka baru itu perlu didalami lebih lanjut, untuk dapat menegakkan hipotesis dari narasi-narasi yang beredar.
Salah satunya mengenai benar atau tidak para tersangka telah mengompori atau mendorong pelaku untuk melakukan kekerasan terhadap korban.
Adapun tersangka lain dalam kasus ini adalah Shane Lukas yang merupakan teman Mario. Pacar Mario yang berinisial AG juga telah ditetapkan sebagai pelaku.
Selain itu, kata Abe, kekerasan yang dilakukan Mario bisa jadi juga menjadi ajang pelaku menunjukkan kegagahan dirinya.
"Barangkali itu (kekerasan) itu sebagai sesuatu yang menantang atau ada maskulinitas," kata Abe.
"Saya menyebut kekerasan itu dekat dengan adanya maskulinitas. Maka superior dari maskulinitas itu dipakai untuk melakukan kekerasan terhadap temannya atau terhadap orang lain," tambah dia.
Baca juga: Kondisi D Dua Pekan Usai Dianiaya Mario: Lewati Masa Kritis dan Tunjukkan Reaksi Emosi
Dengan begitu, Abe mengatakan, para pelaku atau tersangka tindak kekerasan sama seperti melakukan ekshibisionisme yang seharusnya tidak layak di publik.
Akan tetapi, dengan adanya maskulinitas, mereka merasa perlu melakukan kekerasan itu dan tertantang untuk melakukannya.
Tontonan di media sosial juga bisa menambah keinginan kuat para pelaku untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain.