"Yang dilakukan para pelaku ini semacam kalau di kita menipu dengan telepon, mengaku sebagai polisi. Kadang-kadang minta tebusan, perbuatan seperti itu yang dilakukan," ujar Djuhandani.
Modus lainnya adalah menawarkan penjualan barang-barang elektronik kepada korban. Namun, setelah korban membayar, pelaku tak mengirimkan barangnya.
Djuhandhani mengatakan, selama menjalankan aksinya, para pelaku diduga mendapat keuntungan miliaran rupiah setiap bulan.
Karena kebanyakan korbannya ada di luar negeri, polisi belum bisa melakukan penyelidikan lanjutan.
"TKP-nya memang di Indonesia, namun korban-korban ada yang dari Singapura, Thailand, China, dan sampai saat ini belum ada laporan atau pun bisa kami dapatkan korbannya secara langsung berdasarkan pengakuan mereka," ujar Djuhandhani.
Saat ini, polisi belum dapat memastikan asal negara para penipu tersebut karena mereka tidak dapat menunjukkan paspor mereka.
Djuhandhani mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Imigrasi maupun Hubungan Internasional (Hubinter) Polri untuk mencari tahu asal negara para pelaku.
Dalam kasus itu, penyidik Bareskrim menyita sejumlah barang bukti, di antaranya 51 unit iPad, 68 ponsel, 7 unit laptop, dan 1 boks headset.
Penyidik menjerat para pelaku dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE kemudian UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
(Penulis : Nabilla Ramadhian/ Editor : Ihsanuddin, Nursita Sari)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.