Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arsenius Wisnu Aji Patria Perkasa
Dosen Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Studi Global, Universitas Budi Luhur

Paradoks Keadilan Restoratif Sistem Peradilan Anak Kasus AGH

Kompas.com - 05/05/2023, 16:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

An eye for an eye (and a tooth for a tooth)”

IDION berbahasa inggris di atas dapat diterjemahkan menjadi “mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi”. Istilah tersebut memiliki arti bahwa kejahatan harus dibalas setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan pelaku agar korban mendapatkan keadilan.

Pandangan seperti ini yang menjadi alasan hukuman atas kejahatan lebih fokus pada penyiksaan fisik atau corporal punishment.

Hukuman fisik berupa penyiksaan telah ada dan legal untuk dilakukan di negara-negara Eropa sejak zaman kuno hingga abad pertengahan, bahkan dipertontonkan di depan publik. Beberapa contohnya adalah The Rack, Strappado, dan Poena Cullei.

Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan efek penggentarjeraan atau detterence, baik bagi para pelaku kejahatan maupun masyarakat sekitar.

Perkembangan yang sangat besar terjadi pada abad ke-18 hingga 19. Hukuman dan penyiksaan fisik sudah dihapuskan dalam hukum formil yang diperkuat oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia dalam dunia internasional.

Meski demikian, hukuman fisik yang kecil masih dipraktikkan hingga saat ini sebagai bentuk disiplin bagi masyarakat, khususnya anak-anak.

Contoh paling simpel adalah bagaimana orangtua mencubit anaknya jika nakal. Tentu hukuman fisik dapat dilakukan untuk kenakalan atau penyimpangan kecil yang dilakukan oleh anak-anak, seperti misalnya membolos sekolah atau klepto, agar mereka memahami bahwa perbuatan tersebut salah.

Hukuman seperti ini wajar untuk dilakukan dalam taraf tertentu, bergantung pada konteks spasial dan temporal.

Dapat dipahami bahwa terdapat penurunan tingkat “keparahan” sebagai akibat dari pengakuan terhadap Deklarasi Hak Asasi Manusia.

Meski demikian, eskalasi hukuman fisik sering kali terjadi di dalam masyarakat dengan justifikasi “memberikan pelajaran” bagi suatu pihak tertentu yang dianggap telah melakukan kesalahan terhadap pihak lainnya.

Kasus penyiksaan berat terencana Mario Dandy, Shane Lukas, dan AGH

Masyarakat telah digemparkan rekaman penganiayaan dilakukan dan disebarkan melalui media sosial Twitter. Rekaman berdurasi sekitar 55 detik ini memperlihatkan dua orang yang sedang menganiaya satu orang yang sudah terbujur lemas di aspal.

Rekaman ini menjadi viral dan menyebar ke media sosial lainnya. Setelah diusut, terkuak bahwa korban yang dianiaya merupakan anak di bawah umur inisial CDO (17).

Sedangkan pelakunya telah diidentifikasi dengan identitas Mario Dandy Satriyo (20) dan Shane Lukas (19). Orang yang merekam merupakan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu AGH (15).

Hingga artikel opini ini dibuat, AGH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan tindak pidana dan turut serta melakukan penganiayaan berat yang terencana sebagaimana dakwaan primer.

Hakim tunggal, Sri Wahyuni Batubara, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan pidana penjara kepada AGH selama 3 tahun 6 bulan di LPKA.

Sedangkan Mario Dandy dan Shane Lukas telah ditetapkan sebagai tersangka dan masih menunggu persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Emosi marah dan kecemburuan yang dirasakan oleh Mario Dandy pada akhirnya menjadi justifikasi bagi dirinya untuk “memberikan pelajaran” terhadap CDO.

Pemukulan dan perilaku main hakim sendiri dilakukan oleh pelaku sebagai ekspresi kemarahan pelaku terhadap korban.

Meski demikian, tindakan main hakim sendiri ini berekskalasi menjadi penganiayaan berat sebab pelaku telah terbutakan oleh emosi dan adrenalin yang sangat tinggi. Pelaku menjadi semakin senang saat dirinya melihat CDO tidak berdaya di hadapan pelaku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemprov DKI Disarankan Ambil Alih Pengelolaan JIS, TIM, dan Velodrome dari Jakpro

Pemprov DKI Disarankan Ambil Alih Pengelolaan JIS, TIM, dan Velodrome dari Jakpro

Megapolitan
Jenazah Brigadir RAT Diotopsi di RS Polri Sebelum Dibawa Keluarga ke Manado

Jenazah Brigadir RAT Diotopsi di RS Polri Sebelum Dibawa Keluarga ke Manado

Megapolitan
Kasus Kriminal di Depok Naik, dari Pencurian Guling hingga Bocah SMP Dibegal

Kasus Kriminal di Depok Naik, dari Pencurian Guling hingga Bocah SMP Dibegal

Megapolitan
Pemprov DKI Bakal Bangun 2 SPKL Tahun Ini, Salah Satunya di Balai Kota

Pemprov DKI Bakal Bangun 2 SPKL Tahun Ini, Salah Satunya di Balai Kota

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Megapolitan
Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Megapolitan
Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Megapolitan
PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com