“An eye for an eye (and a tooth for a tooth)”
IDION berbahasa inggris di atas dapat diterjemahkan menjadi “mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi”. Istilah tersebut memiliki arti bahwa kejahatan harus dibalas setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan pelaku agar korban mendapatkan keadilan.
Pandangan seperti ini yang menjadi alasan hukuman atas kejahatan lebih fokus pada penyiksaan fisik atau corporal punishment.
Hukuman fisik berupa penyiksaan telah ada dan legal untuk dilakukan di negara-negara Eropa sejak zaman kuno hingga abad pertengahan, bahkan dipertontonkan di depan publik. Beberapa contohnya adalah The Rack, Strappado, dan Poena Cullei.
Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan efek penggentarjeraan atau detterence, baik bagi para pelaku kejahatan maupun masyarakat sekitar.
Perkembangan yang sangat besar terjadi pada abad ke-18 hingga 19. Hukuman dan penyiksaan fisik sudah dihapuskan dalam hukum formil yang diperkuat oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia dalam dunia internasional.
Meski demikian, hukuman fisik yang kecil masih dipraktikkan hingga saat ini sebagai bentuk disiplin bagi masyarakat, khususnya anak-anak.
Contoh paling simpel adalah bagaimana orangtua mencubit anaknya jika nakal. Tentu hukuman fisik dapat dilakukan untuk kenakalan atau penyimpangan kecil yang dilakukan oleh anak-anak, seperti misalnya membolos sekolah atau klepto, agar mereka memahami bahwa perbuatan tersebut salah.
Hukuman seperti ini wajar untuk dilakukan dalam taraf tertentu, bergantung pada konteks spasial dan temporal.
Dapat dipahami bahwa terdapat penurunan tingkat “keparahan” sebagai akibat dari pengakuan terhadap Deklarasi Hak Asasi Manusia.
Meski demikian, eskalasi hukuman fisik sering kali terjadi di dalam masyarakat dengan justifikasi “memberikan pelajaran” bagi suatu pihak tertentu yang dianggap telah melakukan kesalahan terhadap pihak lainnya.
Masyarakat telah digemparkan rekaman penganiayaan dilakukan dan disebarkan melalui media sosial Twitter. Rekaman berdurasi sekitar 55 detik ini memperlihatkan dua orang yang sedang menganiaya satu orang yang sudah terbujur lemas di aspal.
Rekaman ini menjadi viral dan menyebar ke media sosial lainnya. Setelah diusut, terkuak bahwa korban yang dianiaya merupakan anak di bawah umur inisial CDO (17).
Sedangkan pelakunya telah diidentifikasi dengan identitas Mario Dandy Satriyo (20) dan Shane Lukas (19). Orang yang merekam merupakan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu AGH (15).
Hingga artikel opini ini dibuat, AGH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan tindak pidana dan turut serta melakukan penganiayaan berat yang terencana sebagaimana dakwaan primer.
Hakim tunggal, Sri Wahyuni Batubara, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan pidana penjara kepada AGH selama 3 tahun 6 bulan di LPKA.
Sedangkan Mario Dandy dan Shane Lukas telah ditetapkan sebagai tersangka dan masih menunggu persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Emosi marah dan kecemburuan yang dirasakan oleh Mario Dandy pada akhirnya menjadi justifikasi bagi dirinya untuk “memberikan pelajaran” terhadap CDO.
Pemukulan dan perilaku main hakim sendiri dilakukan oleh pelaku sebagai ekspresi kemarahan pelaku terhadap korban.
Meski demikian, tindakan main hakim sendiri ini berekskalasi menjadi penganiayaan berat sebab pelaku telah terbutakan oleh emosi dan adrenalin yang sangat tinggi. Pelaku menjadi semakin senang saat dirinya melihat CDO tidak berdaya di hadapan pelaku.