JAKARTA, KOMPAS.com - Ibunda Imam Masykur (25), Fauziah, berharap tiga anggota TNI yang menculik, menyiksa, lalu membuang jasad anaknya mendapatkan ganjaran hukuman mati.
Harapan ini berkali-kali diutarakan Fauziah kepada tim kuasa hukum keluarga yang kini berjumlah belasan pengacara.
"Oleh karenanya, kami mendukung Panglima TNI, (beri) hukuman seberat-beratnya, hukuman mati. Keluarga juga sudah meminta kepada kami agar pelaku dihukum mati, serendah-rendahnya hukuman seumur hidup," ungkap kuasa hukum Fauziah, Ridwan Hadi, Selasa (5/9/2023).
Baca juga: Tangis Penyesalan 3 Anggota TNI yang Culik dan Bunuh Imam Masykur, Akui Incar Pedagang Kosmetik
Pada Selasa pagi, Fauziah bersama calon tunangan mendiang Imam, Yuni Maulida (23), beserta tim kuasa hukum asal Aceh mendatangi pengacara Hotman Paris Hutapea.
Dalam kesempatan itu, diumumkan juga bahwa Hotman bersama 18 pengacara lain telah resmi menjadi kuasa hukum Fauziah.
"Kami bertemu sama Bapak Hotman, mau dikawal (kasus) ini sampai tuntas," ujar Fauziah dalam kesempatan yang sama.
Hotman mendesak Polisi Militer Kodam Jaya (Pomdam Jaya) untuk menjerat tiga TNI tersebut dengan pasal pembunuhan berencana.
Baca juga: Hasil Visum Tunjukkan Imam Masykur Alami Asfiksia, Hotman Paris Heran
Hotman berujar, salah satu tersangka yang merupakan anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) berinisial Praka RM sempat mengancam akan membunuh Imam.
Untuk diketahui, Imam Masykur merupakan pemuda asal Aceh yang tewas usai diculik dan disiksa tiga oknum TNI, salah satunya Praka RM.
Praka RM sempat menelepon Fauziah menggunakan ponsel Imam, saat menganiaya korban.
Dia meminta uang senilai Rp 50 juta. Jika uang itu tidak dikirim, Praka RM akan membunuh Imam lalu membuang jasad korban ke sungai.
"Mengimbau kepada Panglima TNI dan Pomdam Jaya serta penyidik agar menerapkan pasal bukan hanya Pasal 351 KUHP, tetapi juga diterapkan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana," kata Hotman.
Baca juga: Kekasih Sempat Lihat Jasad Imam Masykur di RS, Temukan Lubang di Dada Kiri Korban
Berdasarkan teori hukum, Hotman menyampaikan, suatu kasus bisa disebut sebagai pembunuhan berencana apabila pelaku sempat berpikir untuk membunuh korban.
"Itulah yang diterapkan dalam kasus Sambo. Dalam kasus ini jelas-jelas ada waktu berpikir dari si pelaku, bahkan memberikan kesempatan kepada almarhum untuk menelepon," ujar Hotman.
"Dan bahkan si pelaku menelepon keluarga dengan mengatakan, 'Kalau kau tidak kirim uang Rp 50 juta, saya akan bunuh dan saya akan buang ke sungai'. Itu jelas-jelas pembunuhan berencana," imbuh dia.