“Ibu sudah enggak ada dari aku kecil. Ayah nikah lagi enggak tahu ke mana, (tinggal) sama nenek doang. Waktu kecil itu ngamen, ngerasain gimana uang pas-pasan (tapi) laper,” tutur Can.
Baca juga: Kisah Ivan Rivani, Penyandang Disabilitas yang Buka Les Gitar Keliling di Pulogadung
“Makanya sekarang ada orang mau makan, enggak punya atau apa, ya saya kasih karena pernah merasakan sendiri. Nyari-nyari di tempat sampah bekas orang makan, saya pernah,” lanjut dia.
Pemuda kelahiran 27 April 2003 itu menghabiskan hidupnya mencari rezeki di jalanan sejak kelas 5 SD sampai 1 SMP. Selepas pulang sekolah, dia selalu mengisi waktu luangnya untuk bekerja mencari uang jajan.
Sewaktu duduk di bangku SMA, Can merasa tidak mengikuti jam pulang sekolah yang terlalu sore. Sebab, hal itu membuatnya tak bisa bekerja.
“SMP kan pulang jam 12.00, jam 13.00 bisa kerja. SMA kan pulangnya ja, 16.00, jadi mau kerja susah. SMA masuk seminggu, langsung keluar,” ucap dia.
Selain mengamen, Can memulai ‘karier’-nya menjadi bawahan bos-bos. Mulai dari kuli bangunan, dagang cilok di Joglo, Jakarta Barat, dan masih banyak lagi.
“Pokoknya ambil pengalaman orang. Ambil ilmunya dulu. Kayak ini (dagang lontong sayur), sampai akhirnya mikir, ‘Oh gini-gini doang juga, aku bisa lah', gitu,” kata Can.
Berdagang lontong sayur sudah ditekuninya sejak 2020, meski jalannya tak selalu mulus. Apalagi saat pandemi Covid-19 mengempaskan peluangnya.
“Habis-habisan semenjak corona. Jual tiga motor buat modal, sedangkan modal enggak balik dan uang enggak ada. Jualan sepi,” celetuk dia.
Baca juga: Nasib Ojol Turunkan Penumpang Ogah Pakai Helm, Kena Suspend hingga Bingung Cari Nafkah
“Emang bisa kami keliling, tapi jalannya di-lockdown semua. Kadang cuma laku tiga porsi, sedangkan ini sayur kan kalau sehari enggak habis ya dibuang. Kan santan, nanti asam. Makanya pengin nangis mah pengin, pas corona nganggur,” sambung Can.
Melihat teman-temannya yang gulung tikar akibat tak kuat memikul rugi, Can memutuskan untuk tetap bertahan. Sebab, perjuangannya masih layak untuk dijalani.
“Aku pikir-pikir lagi kalau gulung tikar. Dulu merintis kan pegal, tahu betul bagaimana jerih payahnya. Syukuri sajalah dapat berapapun juga,” lanjut dia.
Kini, kehidupannya sehari-hari lambat laun membaik. Dalam sehari, Can bisa meraup untung sekitar Rp 150.000 sampai Rp 250.000. Namun, jika dihitung benar-benar untuk dirinya sendiri, dia hanya mendapatkan sekitar Rp 20.000.
“Sisanya habis untuk setoran sama modal. Kalau aku milih lebihannya sedikit, yang penting bisa simpan (tabung) sedikit-sedikit,” tutur Can.
Ketika saya bertanya apakah dia masih punya mimpi, Can menggeleng pelan. Senyumnya berubah sedikit pahit.