JAKARTA, KOMPAS.com - Calon presiden nomor urut satu Anies Baswedan sempat melintasi Jalan Perjuangan bersama istri, Fery Farhati, saat hari pertama kampanyenya di Kampung Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, Selasa (28/11/2023).
Dalam kesempatan tersebut, eks Gubernur DKI Jakarta itu mengendarai sepeda motor Yamaha Nmax warna abu-abu berpelat B 4485 BRV sebelum akhirnya tiba di panggung utama.
Kata “perjuangan” yang disematkan untuk nama jalan ini mempunyai kisah tersendiri bagi warga Kampung Tanah Merah demi bermukim di wilayah tersebut.
Baca juga: Jejak Kampanye Pertama Anies di Tanah Merah: Kendarai Motor di Atas Jalan Perjuangan yang Tak Mulus
Demikian diceritakan Masta Tarigan (63), salah satu warga Tanah Merah yang tempat tinggalnya berada persis di pinggir Jalan Perjuangan.
“Awalnya karena Tanah Merah ini merupakan perjuangan rakyat. Makanya dinamakan Jalan Perjuangan,” kata Masta saat berbincang dengan Kompas.com di warung kelontongnya, Selasa.
Perempuan rambut sebahu dan bergelombang itu sudah tinggal di Kampung Tanah Merah sejak 1988 bersama keluarganya.
Setelah dua tahun, yakni 1991, ratusan bangunan digusur oleh pemerintah di era Presiden Soeharto, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto, dan Wali Kota Jakarta Utara Suprawito. Sebab, tanah tersebut disebut milik Pertamina.
Baca juga: Harapan Warga Tanah Merah jika Anies Jadi Presiden, Minta Legalitas Rumah dan Perbaikan Jalan
Masta yang akrab disapa Opung bersama warga hanya bisa pasrah setelah permukiman Kampung Tanah rata dengan tanah.
Pemangku wilayah memberikan uang Rp 37.000 per meter kepada warga sebagai bentuk ganti rugi atas tanah yang telah digusur.
“Ada yang mau (ambil uang ganti rugi), tapi ada yang enggak. Siapa yang pegawai negeri, harus ambil (uang ganti rugi). Kalau enggak diambil, dipecat. Ya begitulah,” ujar Masta menghela napas.
Sementara warga yang menolak digusur dan ogah menerima uang ganti rugi, termasuk Masta, bertahan dengan mendirikan tenda berwarna biru di tengah-tengah tanah sengketa.
Suatu hari, sejumlah petugas keamanan dan ketertiban (Kamtib) hendak menertibkan tenda yang berdiri di atas tanah gusuran.
Baca juga: Jalan yang Dilalui Anies di Tanah Merah Tak Mulus, Jalan Perjuangan Namanya...
Masta dan satu temannya menolak. Cekcok mulut antara Masta dengan petugas tidak terhindarkan.
Waktu itu, tenda tidak dibongkar. Namun, esok harinya sejumlah petugas Kamtib kembali datang, lengkap dengan truk yang siap mengangkut semua barang milik warga. Terpaksa, Masta dan temannya juga kembali melawan.
“Pakai bambu runcing kami. Pas mau ditangkap, saya gigit itu polisi dan tentara, saya tendangi mereka,” ungkap dia.
Hanya saja, ia kehabisan tenaga. Petugas berhasil mengamankan Masta dan temannya karena dianggap melawan petugas. Keduanya dibawa ke Koramil dan Kantor Polisi.
“Saya tanya, ‘Pak, ada apa ini? Kok saya dibawa ke sini? Salah saya apa, Pak? Apa saya maling? Apa saya membunuh?’, (dijawab) ‘ibu tadi melawan’. Kalau mau cek, ada foto kami di majalah yang terbit pada saat itu,” ujar Masta.
Baca juga: Kampanye di GOR Ciracas, Anies Singgung Penggusuran Kampung Akuarium
Seiring berjalannya waktu, perkara sengketa tanah antara warga Kampung Tanah Merah dan Pertamina bergulir di meja hijau.
Masta mengeklaim, kasus tersebut dimenangkan oleh warga Kampung Tanah Merah hingga tingkat Mahkamah Agung.
“Keputusannya menyatakan bahwa ini tanah negara. Katanya, kembalikan rakyat ke tempat semula. Yang diakui 132 KK, termasuk saya. Bahkan, keputusannya sampai Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tetap sama,” ucap dia.
Meski begitu, warga yang bertahan dengan mendirikan tenda tetap diterbitkan oleh petugas Kamtib. Ia tidak mengetahui alasannya.
Menurutnya, penertiban petugas Kamtib pada saat itu sangat kejam.
“Makanya dulu di sini banyak (warga) yang gegar otak karena dipukuli, yang rumahnya dirobohkan. Pernah kami gotong seorang ibu yang pingsan ke kantor Wali Kota Jakarta Utara. Jalan kaki kami ke sana,” imbuh Masta.
“Kan yang membongkar di sini petugasnya dia. Kami gotong ke sana. Sampai di sana, kami bilang, ‘ini keadaan ibu-ibu yang sudah pingsan gara-gara kekerasan pegawai kamu',” tambah dia.
Selama tujuh tahun, tepatnya dari 1991 sampai 1998, warga Tanah Merah kucing-kucingan dengan petugas Kamtib.
Warga membongkar tenda saat matahari terbit, lalu mendirikan kembali ketika sang surya tenggelam.
“Iya (tujuh tahun bongkar pasang tenda). Jadi, kami kalau sudah siang, ya kepanasan. Sore jam 16.00 WIB, kan Kamtib sudah pulang, baru kami bangun lagi tenda. Kalau sudah pagi kan kami umpetin,” ungkap Masta sambil tertawa.
Selama periode tersebut, sudah tak terhitung jumlahnya warga berdemo di depan gedung DPR/MPR RI untuk meminta kejelasan atas tanah tersebut.
Saat era reformasi di bawah kepemimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dimulai, warga berani mendirikan gubuk.
“Kamtib sudah tidak datang lagi, kami bangun gubuk, dikit-dikit, pakai triplek. Tahun 2000, sudah mulai datang warga, bikinlah. Sampai sekarang, sudah gede-gede rumahnya,” pungkas Masta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.