AWAL 2024, sejumlah halte Transjakarta diganti namanya. Dirut PT Transjakarta Welfizon Yusa, seperti dikutip Kompas.com menyatakan, penggantian nama bertujuan komersialisasi nama halte.
Sehingga nama halte yang menggunakan nama komersial akan "dinetralisasi" menjadi nama daerah setempat.
Baca juga: Transjakarta Ubah Nama Halte, Simak Daftarnya
Upaya ini sebenarnya positif karena sebagai BUMD tentunya Transjakarta harus bisa memikirkan sektor pemasukan lain termasuk dari sektor iklan. Seperti yang dilakukan oleh MRT Jakarta yang menjual penamaan stasiun ke beberapa perusahaan.
Meski begitu, ada beberapa halte yang penamaannya kurang tepat. Misal, halte Garuda Taman Mini yang berubah menjadi halte Makasar.
Secara sosiologis warga Jakarta Timur mengenal daerah Makasar bukan di titik halte tersebut, melainkan kelurahan yang jaraknya masih sekitar 2 Km dari halte tersebut.
Sementara titik halte Makasar dikenal oleh masyarakat di sana sebagai daerah "Garuda".
Saya sendiri menghabiskan masa kecil sampai saat ini di wilayah tersebut sudah terbiasa dengan penamaan Garuda, termasuk tanpa embel-embel "Taman Mini" karena halte itu masih berjarak sekitar 1,5 Km dari apa yang masyarakat setempat kenal sebagai Taman Mini.
Begitu juga halte Budi Utomo yang berubah menjadi halte Lapangan Banteng, meski lokasinya jauh dari Lapangan Banteng.
Atau halte UNJ menjadi Rawamangun, padahal sangat jauh dari apa yang masyarakat Jakarta kenal sebagai "Rawamangun". Apalagi Rawamangun merupakan nama terminal.
Penamaan yang kurang tepat berpotensi menyesatkan orang. Misal ada orang mau ke Makasar, ketika sudah (atau baru?) sampai halte Makasar, orang tersebut merasa sudah sampai Makasar, padahal masih berjarak sekitar 2 Km dari Makasar.
Begitu juga orang yang mau menuju Lapangan Banteng bisa salah turun di Lapangan Banteng, padahal ada shelter lain yang lebih dekat seperti halte Pasar Baru (beruntung namanya tidak diubah).
Atau orang yang tidak biasa ke terminal Rawamangun lalu mau naik bis bandara, bisa salah turun di tempat yang sebenarnya adalah UNJ.
Selain kurang tepat, masalah lain adalah penamaan yang seperti asal memberikan nama. Contoh halte Tendean yang menjadi halte Tegal Mampang.
Mungkin yang dimaksud PT Transjakarta adalah perpaduan wilayah Tegalparang dan Mampang, namun nama ini pastinya bukan nama yang dikenal masyarakat.
Saya tidak tahu apa pertimbangan PT Transjakarta melihat nama Tendean atau nama pahlawan lain yang menjadi nama halte Transjakarta seperti Radin Inten, Adam Malik dll, sebagai nama yang "harus dinetralkan".