JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah 17 tahun sejak 18 Januari 2007, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar kegiatan rutin bernama Aksi Kamisan yang berlangsung setiap Kamis di seberang Istana Negara, Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Aksi Kamisan menjadi wadah bagi korban dan keluarga korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu untuk menuntut keadilan dari negara. Sebab, selama puluhan tahun, kasus ini dibiarkan tanpa penyelesaian secara yudisial.
Gagasan soal Aksi Kamisan dicetuskan oleh ibunda Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, Maria Katarina Sumarsih (71), dan istri pejuang HAM Munir Said Thalib, Suciwati (55).
Baca juga: Aksi Kamisan Sudah 17 Tahun Berlalu, Kapan Keadilan Itu Datang?
Untuk diketahui, Wawan yang merupakan mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menjadi salah satu korban penembakan dalam Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.
Sementara itu, Munir meninggal setelah diracun di udara dalam perjalanan menuju Belanda pada September 2004.
Dalam rapat JSKK, Sumarsih mengusulkan payung sebagai simbol yang digunakan saat aksi.
Kemudian, Suciwati memberikan ide pakaian peserta aksi serba hitam, sebagai lambang keteguhan dalam mencintai manusia.
Aksi Kamisan terinspirasi dari ibu-ibu Plaza de Mayo yang melakukan aksi damai untuk memprotes penghilangan dan pembunuhan anak-anak mereka oleh Junta Militer Argentina.
Seperti halnya ibu-ibu Plaza de Mayo, Sumarsih dan JSKK menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, yang dianggap sebagai simbol kekuasaan.
Korban dan keluarga korban serta pegiat HAM berkumpul di seberang Istana Negara pada hari peringatan 17 tahun Aksi Kamisan, Kamis (18/1/2024).
Mereka berdiri dan berbaris secara teratur menghadap tempat kerja orang nomor satu di Indonesia, yakni Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, mereka mengenakan pakaian serba hitam serta dilengkapi payung warna serupa. Di payung tersebut tertulis sejumlah pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini “dicuekkan” negara.
Baca juga: Istri Munir: 17 Tahun Aksi Kamisan, Hal yang Memprihatikan
Di depan mereka terdapat sejumlah foto korban berwarna hitam putih yang ditempelkan di atas kain hitam.
Beberapa di antaranya adalah korban penculikan di Aceh Zainal Abidin, korban peristiwa Talangsari Azwar Kaili, korban peristiwa Jamboe Keupok Mukminin, korban peristiwa 65/66 Supradi.
Sama seperti Aksi Kamisan yang sudah-sudah, mereka hanya diam tanpa mengeluarkan satu patah kata pun. Mereka juga menutup mata memakai kain berwarna hitam.
Itu merupakan aksi simbolik bahwa negara bungkam dan seolah-olah tutup mata dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Setiap lima tahun sekali, korban dan keluarga korban selalu dijanjikan soal penegakan kasus HAM berat.
Namun, mereka dikhianati dan dijadikan sebagai “kendaraan” untuk mengumpulkan suara dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Kami tetap ada (di Aksi Kamisan), (kami) selalu dikhianati, kami hanya "dipakai" (untuk mendulang suara), selalu. Itu yang dilakukan oleh siapa pun capresnya, kemudian jadi presiden, kemudian mengkhianati janji-janji mereka sendiri,” ujar Suciwati.
Baca juga: 17 Tahun Aksi Kamisan Digelar di Seberang Istana Merdeka, Bertahan untuk Berjuang Cari Keadilan
Rasa kecewa terhadap Presiden Joko Widodo alias Jokowi juga diutarakan Nurhayati (58), anak Bachtiar Johan yang merupakan korban Tragedi Tanjung Priok 1984.
“Saya juga menuntut untuk Bapak Presiden Jokowi yang kemarin mengatakan akan menyelesaikan semua kasus, ternyata tidak sama sekali,” kata Nurhayati.
Meski belum membuahkan hasil, mereka tidak pernah bosan untuk datang ke seberang Istana Negara setiap Kamis dan menggelar Aksi Kamisan.
Sebab, ada rasa cinta begitu dalam untuk menguatkan satu sama lain.
“Karena cinta. Saya cinta Wawan, dan ketika saya mencintai Wawan, Wawan juga cinta saya. Tetapi, dukacita saya sekarang telah bertransformasi pada cinta terhadap sesama,” kata Sumarsih.
“Artinya, yang saya perjuangkan tidak hanya menuntut pertanggungjawaban bagi Wawan dan kawan-kawan, tetapi juga memperjuangkan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya,” lanjut dia.
Baca juga: Sudah 17 Tahun Hadir di Aksi Kamisan, Sumarsih: Saya Mencintai Wawan
Sumarsih juga senang karena anak muda silih berganti mengikuti Aksi Kamisan, bahkan jumlahnya berlipat ganda.
Ia juga senang, gerakan ini menginspirasi berbagai generasi di berbagai daerah untuk kritis terhadap pemerintah.
“Kalau saya sudah meninggal, perjuangan ini akan banyak yang meneruskan,” tutur Sumarsih.
Sumarsih tidak mengetahui pasti sampai kapan Aksi Kamisan akan terus digelar.
Hanya saja, ia memastikan, selama keadilan terhadap korban belum ditegakkan dan Sumarsih masih diberi kesehatan di usianya yang sudah senja, Aksi Kamisan akan tetap ada.
“Sepanjang Tuhan masih menganugerahi nyawa dan kesehatan, saya akan terus melakukan sesuatu, entah berupa apa saja, termasuk Aksi Kamisan untuk melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawan yang belum selesai. Iya (sampai akhir hayat),” ujar Sumarsih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.