Setiba di Terminal Tegal, Anto harus merapikan bus. Ia memungut sampah penumpang yang tersisa dan menyapu sampai bersih. Setelahnya, dia baru bisa menerima upah dalam satu kali perjalan pulang dan pergi.
Tetapi, tugas Anto tidak sampai situ saja. Saat matahari terbit, ia harus mencuci bus sebelum akhirnya digunakan oleh sopir lain.
“Waktu baru-baru jadi kernet, ya semangat. Setelah narik, sampai Terminal 03.00 WIB, langsung nyuci saya. Tapi lama-lama saya kena penyakit, keluar darah. Saking capeknya kali ya. Pas diperiksa, kecapean katanya,” imbuh Anto.
“Saya berpikir, ya karena besoknya libur, mending cuci pagi saja. Kan enak, soalnya sudah tidur. Kira-kira jam 08.00 WIB. Nanti jam 12.00 WIB sudah bersih semua. Besoknya lagi, ngetem lagi (di Terminal Tegal),” tambahnya.
Anto yang rumahnya tidak jauh dari Terminal Tegal itu berujar, ia bisa saja membayar orang untuk mencuci bus. Kendati demikian, hal tersebut tergantung upah yang diterima dari sang sopir.
“Kalau bayarannya sampai Rp 300.000, buat cuci Rp 50.000, ya masih sisa Rp 250.000, mending, masih menutup (kebutuhan sehari-hari). Nah, sekarang Rp 150.000, buat bini Rp 130.000, Rp 20.000 itu buat ngopi dan ngerokok, ya habis. Besoknya kayak gitu,” tutur Anto.
Menurut dia, uang Rp 100.000 pada zaman sekarang bukan nominal yang besar.
“Belum anak sekolah. Coba saja hitung, Rp 130.000, paginya buat sarapan satu keluarga, sangu anak, sorenya yang lain, ya habis. Duit Rp 100.000 mah enggak ada apa-apa. Cuma, kita kayak gitu saja, enggak naik-naik (upahnya), heran,” kata Anto.
Kondisi penghasilan tidak menentu dan entah pulang kapan sudah Anto jalani selama bertahun-tahun.
Meski sudah bersyukur karena masih diberikan rezeki oleh Sang Pencipta, Anto tidak bisa menutupi beban sebagai kepala keluarga.
“Rumah saya sering banjir. Atapnya masih pakai bambu. Mau diperbaiki, duitnya enggak ada, kan susah. Kalau kumpulin duit, paling habis buat makan doang. Kayak ini (kernet), PP, enggak ada penumpang, sampai dua hari dua malam. Paling dapat bayaran Rp 150.000. Itu belum nyucinya. Belum kecukupan,” kata Anto.
“Penginnya (kembali) jualan, cuma kita modalnya bagaimana ya? Sekarang banyak orang susah. Kalau di Jawa, ekonominya parah. Yang (merantau) dari Jakarta saja sudah pada pulang,” ucap Anto lagi.
Lagi-lagi, Anto tetap bersyukur. Ia hanya bisa merapalkan doa kepada Tuhan agar tetap diberikan kesehatan supaya bisa mencari nafkah untuk keluarganya.
Baca juga: Keseharian Lukman Sopir Bus AKAP, Jarang Ketemu Anak-Istri karena Lebih Banyak di Jalan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.