JAKARTA, KOMPAS.com - Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menegaskan bahwa penderita psikotik tidak bisa bertanggung jawab atas perbuatan pidananya.
Hal ini merupakan jawaban mengenai seorang ibu di Bekasi inisial SNF (26) yang membunuh anak kandungnya, AAMS (6), dengan 20 kali tusukan menggunakan pisau dapur saat sang buah hati tertidur pulas.
“Terlepas dari mana pun yang terjadi, psikotik skizofrenia dan psikotik paranoid, maka secara hukum, seorang yang mengalami psikotik, itu sebetulnya bebas dari tanggung jawab hukum,” kata Adrianus saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (9/3/2024).
Baca juga: Ibu di Bekasi Bunuh Anak dengan 20 Kali Tusukan, Kriminolog: Gejala Umum Penderita Psikotik
Adrianus menyampaikan, penderita psikotik tidak dapat dijerat dengan hukum karena mereka tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.
Terlebih, penderita psikotik sangat berbeda dengan orang yang mengalami gangguan jiwa jenis disorder, gangguan jiwa neurosis, hingga seksual disorder.
“Dia (penderita psikotik) unlable, dia tidak bertanggung jawab secara hukum, karena dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri,” ungkap Adrianus.
Berdasarkan analisa, Adrianus menduga SNF menderita psikotik.
Setidaknya, kata Adrianus, ada dua jenis psikotik, yakni skizofrenia dan paranoid.
Ia menjelaskan, skizofrenia adalah psikotik yang pada dasarnya berbicara soal keterbelahan jiwa.
Baca juga: Gelagat Aneh Ibu yang Tusuk Anaknya di Bekasi: Tiba-tiba Ada di Bandara dan Tak Terlihat Penyesalan
“Pada saat membunuh anaknya, itu dia tengah menjadi the self yang bukan ibu itu. Jadi, the self yang muncul pada saat ibu itu membunuh, bukanlah the self yang sama dengan the self-nya seorang ibu,” ujar Adrianus.
“Nah, maka, biasanya ketika the self yang membunuh itu sudah pergi, kesadarannya timbul, dan yang muncul the self sebagai ibu, maka kemudian dia menyesal, nangis-nangis, dan kaget bahwa dia membunuh anaknya,” lanjutnya.
Sementara itu, psikotik paranoid adalah ketika penderita mempunyai waham curiga.
Adrianus mengungkapkan, penderita psikotik paranoid sangat mudah diintervensi oleh faktor eksternal berupa suara, dorongan-dorongan yang didengar atau dimengerti oleh dirinya sendiri.
Baca juga: Polisi Sebut Bocah yang Dibunuh Ibu Kandung di Bekasi, Ditusuk 20 Kali Pakai Pisau Dapur
“Di mana, dorongan itu atau suara-suara itu ada dua. Pertama, bisa mengajak yang bersangkutan untuk membunuh atau yang kedua mengatakan bahwa 'itu orang yang akan membunuhmu, maka kamu harus bunuh duluan',” ujar Adrianus.
“Jadi, yang pertama, suara itu mengatakan bahwa ‘itu obyek yang bisa kamu bunuh’. Nah, kedua, bicara soal, 'itu obyek yang akan membunuhmu, maka kamu harus dahulukan (membunuh)',” tutur Adrianus menambahkan.