Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan. Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang--harus diasumsikan--telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa.
Memang, walau kejadian tersebut berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri, melainkan menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas. Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.
Kendati demikian, dalam basis data kepolisian, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa mengenaskan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana.
Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi.
Aksi kedua orangtua sedemikian rupa, dalam rumusan pasal 345 KUHP, tampaknya disepadankan dengan 'sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana'.
Sedangkan pada pasal 462 KUHP (2022), pembunuhan dimaksud berupa 'mendorong, membantu, atau memberi sarana'.
Namun penerapan kedua pasal itu, menurut saya, tidak begitu tepat. Alasannya, pasal 345 KUHP dan pasal 462 KUHP (2022) secara implisit memosisikan pihak yang didorong, dibantu, dan difasilitasi untuk menghabisi nyawanya sendiri itu adalah orang dewasa.
Karena pihak itu adalah orang dewasa, maka unsur kehendak dirinya untuk mengakhiri hidup diakui keberadaannya. Antara pihak yang mendorong dan pihak yang didorong, unsur kehendak mereka sejajar atau bersesuaian satu sama lain.
Kontras, sebagaimana tertulis pada alinea-alinea terdahulu, unsur kehendak (dan kesepakatan) serta-merta gugur ketika individu dimaksud masih berusia anak-anak.
Satu pihak (orangtua) berkehendak bagi terjadinya kematian anak-anak, sedangkan anak-anak tidak berkehendak (dan tidak bersepakat) bagi terjadinya hal tersebut.
Atas dasar itu, pasal 340 KUHP saya pandang sebagai pasal yang tepat untuk membingkai kematian yang terjadi dalam situasi pertentangan kehendak antara orangtua dan anak tersebut.
Manakala suami istri melakukan aksi menghabisi diri mereka sendiri, tidak tersedia pembenaran apa pun bagi perbuatan yang salah itu. Kesalahan semakin besar ketika suami istri itu mengikutsertakan anak-anak mereka dalam tindakan fatal.
Pada titik itu, saya menilai kasus tewasnya satu keluarga akibat bunuh diri dan pembunuhan tidak cukup lagi ditinjau sebagai masalah individu per individu yang ditangani lewat pendekatan klinis.
Dengan kata lain, penyikapan terhadap kasus-kasus tersebut tidak memadai jika lagi-lagi hanya menghasilkan rekomendasi terapi.
Peristiwa bunuh diri dan pembunuhan serupa sudah saatnya memanggil paksa pemerintah untuk hadir.
Anggaplah ayah bunda diterpa masalah yang amat pelik. Saking peliknya, sampai-sampai kedua orangtua sudah memikirkan langkah tragis sebagai "jalan keluar".
Namun apabila orangtua teryakinkan bahwa negara niscaya dan selalu hadir memberikan jaminan pengamanan sosial bagi anak-anak, maka patut kita berharap bahwa pemikiran salah ayah bunda tidak akan merembet ke anak-anak.
Berkat andalnya jaminan pengaman sosial, orangtua–dengan kata lain–akan membendung problem dan "solusi" pada diri mereka saja.
Sementara anak-anak, di tengah kegetiran hidup akibat ditinggal orangtua, beralih pemenuhan atas hak hidup dan hak berkembang mereka ke negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.