“Iya (di Pasar Minggu). Kalau enggak ada yang kita kenal nih ya, kita masuk asal masuk saja, enggak bisa. Ibaratnya, hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat, dia yang di atas,” lanjutnya.
Baca juga: Sopir Angkot: Dulu kalau Cuma Jadi Kernet, Hidup Sudah Enak
Setelah satu bulan berada di Terminal Pasar Minggu, Hasan akhirnya bertemu dengan temannya yang juga berasal dari Bukittinggi.
Dari pertemuan tersebut, Hasan baru mengetahui bahwa temannya ini merupakan sopir angkot. Perbincangan dengan sesama perantau pun terjadi.
“Baru saya ikut. Tapi, saya jadi kenek dulu sewaktu angkot masih jaya-jayanya,” tutur Hasan.
Kata Hasan, di periode '90-an, pekerjaan sopir angkot menjadi primadona para perantau karena dianggap menjanjikan dibandingkan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Pendapatan Rp 20.000 satu hari sudah bagus, Rp 50.000 lebih bagus lagi. Waktu zaman itu, uang Rp 50.000 buat makan satu minggu, itu belum juga habis,” ujar Hasan.
“Kalau dulu, paling bagus itu wiraswasta daripada PNS, sama lebih bagus sopir angkot. Dulu, kalau enggak salah, gaji PNS itu Rp 60.000 per bulan, kalau enggak salah. Jadi, masih kalah sama kita,” lanjut dia.
Baca juga: Kisah Sopir Angkot, Kini Sengsara tetapi Pernah jadi Profesi Primadona
Namun, zaman telah berubah. Persaingan antartransportasi umum semakin ketat. Tak jarang, Hasan hanya bisa mengeluh karena biaya hidup yang selalu besar daripada pendapatannya.
"Sejak zaman Jokowi, pendapatan angkot benar-benar menurun. Kita punya keluarga, istri bantuin (kerja) juga. Kalau enggak, kita malah diusir pemilik kontrakan," ungkap Hasan.
"Sehari dapat Rp Rp 40.000, Rp 50.000, Rp 70.000. Nah, biaya makan gadang (besar) sekarang, gede biaya kehidupan. Jadi enggak imbang. Kalau keluarga enggak dibantu sama istri, bakalan sengsara," lanjut dia.
Hasan memastikan, semua para sopir angkot di Jakarta juga merasakan hal serupa. Ia menantang untuk bertanya hal serupa kepada sopir angkot yang lain.
"Susah, cari setoran saja terkadang mengutang. Besok baru dapat duit, tombok lagi. Enggak dapat duit (pendapatan), pakai duit setoran (buat biaya sehari-hari). Besoknya kita cicil Rp 10.000 per hari, terus gitu," ungkap dia.
Hasan mengungkapkan, istrinya bekerja sebagai pengamen berkostum badut. Sehari-hari, istri bekerja bersama anak bungsunya yang masih berusia tiga tahun.
"Dia (istri) sudah melamar jadi tukang cuci, dan lain-lain. Tapi sudah penuh semua. Dia dulu Go Clean, karena melahirkan, enggak bisa lagi waktu itu. Sekarang melamar jadi pembantu rumah tangga, enggak diterima," kata Hasan.
Baca juga: Keluh Sopir Angkot di Jakarta: Cari Setoran Saja Terkadang Harus Utang
Kini, Hasan dan keluarga bermukim di salah satu kontrakan di wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Kontrakan satu petak. Kamar mandi di luar. Biaya sewa per bulan itu Rp 800.000. Saya punya anak dua, anak pertama saya SMP swasta, itu banyak pengeluarannya," ungkap Hasan.
Meski dalam kondisi terimpit, dia tetap bersyukur kepada Sang Pencipta karena tidak menyangka bisa bertahan dengan kerasnya Ibu Kota sampai saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.