Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Lagi Pakai Klakson Telolet, Sopir Bus: Harganya Mahal dan Takut Kena Razia

Kompas.com - 26/03/2024, 13:45 WIB
Nabilla Ramadhian,
Jessi Carina

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Sopir bus PO Shantika bernama Parno (60) mengaku pernah memasang klakson telolet sekitar lima tahun lalu. Namun sekarang dia tidak mau lagi memasangnya. 

"Saya pernah pasang klakson telolet, habis itu rusak dan saya malas betulinnya karena mahal," kata dia kepada Kompas.com di Terminal Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, Senin (25/3/2024).

Kala itu, klakson telolet sedang viral dan Parno ingin ikut meramaikannya. Namun, belakangan ia tidak lagi memasangnya karena rusak.

Alasan Parno tidak membetulkannya dengan membeli baru adalah harga klakson telolet yang cenderung mahal.

Baca juga: Setuju Larangan Pasang Klakson Telolet, Sopir Bus: Terlalu Bahaya

Saat itu, harga klakson telolet beragam. Namun, kisaran harga untuk jenis yang Parno pilih adalah Rp 500.000-Rp 600.000-an.

"Kalau yang lebih bagus lagi, ada harganya Rp 1 juta sampai Rp 2 jutaan," ujar dia.

Lebih lanjut, perusahaan tidak memfasilitasi penggunaan klakson telolet. Setiap sopir yang ingin memasangnya harus mengeluarkan uang sendiri.

Sopir bus PO BEJEU bernama Romli (41) pun pernah memasang klakson telolet. Harganya pada saat itu adalah Rp 700.000.

Sama dengan Parno, ia memakai uang pribadinya untuk memasang klakson telolet.

"Tapi ada juga perusahaan yang beliin telolet, cuma dipotong dari gaji sopir. Jadi sebenarnya sama saja sih pakai uang sopir juga," kata Romli di Terminal Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, Senin (25/3/2024).

Baca juga: Diduga Ada Kebocoran, Bensin di SPBU Bekasi Tercampur Air hingga Bikin Kendaraan Mogok

Seiring berjalannya waktu, Romli mencopotnya dan enggan memasangnya kembali.

Saat ini, ia tidak berminat memasang kembali atau membeli klakson telolet yang baru karena harganya sudah mahal.

"Sekarang bisa sampai Rp 6 jutaan, jadi malas untuk beli karena pakai uang pribadi," tutur Romli.

Hindari razia

Parno dan Romli memiliki alasan lain mengapa mereka enggan memasang kembali klakson telolet.

Mereka ingin menghindari razia dari Dishub. Sebab, mereka adalah sopir bus reguler yang sering keluar masuk terminal.

Di setiap terminal yang mereka datangi untuk mengangkut atau menurunkan penumpang, petugas Dishub selalu memeriksa keberadaan klakson telolet.

Baca juga: Persiapan Warga Mudik Naik Bus ke Subang, Pastikan Fisik Sehat dan Bawa Barang Secukupnya

"Menurut saya, pakai klakson telolet terlalu berisiko dengan Dishub, pasti dimarahin. Karena pernah lihat bus jurusan Sukabumi-Bogor nyalakan telolet, dan langsung dimarahi Dishub. Disuruh matikan atau ditindak," ungkap Parno.

Romli pun enggan membayar tilang sebesar Rp 500.000 jika ketahuan busnya memasang klakson telolet.

Menurut dia, denda tidak sebanding dengan gaji yang diperoleh setiap perjalanan. Terlebih, denda dibayar oleh sopir.

"Kalau kena tilang, yang mengeluarkan uang denda kan tetap sopir. Perusahaan enggak mau karena itu kesalahan dari sopir yang nekat pasang klakson telolet. Kalau dari PO saya sekarang, ada aturan enggak dibolehin pasang," ungkap Romli.

Keduanya pun setuju bahwa penggunaan klakson telolet membahayakan sopir dan warga.

Warga, terutama anak-anak, mereka suka mengejar dan menyetop bus di jalanan demi mendengar klakson telolet.

Sementara sopir, mereka berisiko menabrak atau melindas orang-orang yang berada di jalanan karena ingin meminta bunyi klakson telolet.

"Jadinya berisiko. Secara tidak langsung, sopir bus malah bikin kecelakaan. Terlalu bahaya pokoknya," terang Parno.

Oleh karena itu, Parno dan Romli setuju dengan larangan yang kembali digaungkan Kemenhub perihal pemasangan klakson telolet.

Larangan klakson telolet

Sebelumnya, Kemenhub kembali menggaungkan larangan penggunaan klakson telolet karena mengancam keselamatan jalan.

Sebab, masih banyak bus yang menggunakannya. Bahkan pada Minggu (17/3/2024), klakson telolet menyebabkan kecelakaan yang melibatkan korban anak kecil di Pelabuhan Penyeberangan Merak, Banten.

Direktur Sarana Transportasi Jalan Kemenhub Danto Restyawan mengatakan, sesuai rekomendasi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), penggunaan klakson telolet dapat menyebabkan kehabisan pasokan udara atau angin sehingga berdampak pada fungsi rem kendaraan yang kurang optimal.

"Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah memberikan surat edaran kepada seluruh Dinas Perhubungan se-Indonesia agar lebih memperhatikan dan memeriksa penggunaan komponen tambahan seperti klakson telolet pada setiap angkutan umum saat melakukan pengujian berkala," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (19/3/2024).

Dia mengimbau setiap penguji untuk tidak meluluskan kendaraan angkutan umum yang melakukan pelanggaran seperti adanya pemasangan klakson telolet.

Aturan terkait penggunaan klakson pun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan.

Pada pasal 69 aturan itu disebutkan, suara klakson paling rendah 83 desibel atau paling tinggi 118 desibel dan apabila melanggar akan dikenakan sanksi denda sebesar Rp 500.000.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemprov DKI Diminta Bina Juru Parkir Liar agar Punya Pekerjaan Layak

Pemprov DKI Diminta Bina Juru Parkir Liar agar Punya Pekerjaan Layak

Megapolitan
Gerindra Berencana Usung Kader Sendiri di Pilgub DKI 2024

Gerindra Berencana Usung Kader Sendiri di Pilgub DKI 2024

Megapolitan
Munculnya Keraguan di Balik Wacana Pemprov DKI Beri Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket Usai Ditertibkan

Munculnya Keraguan di Balik Wacana Pemprov DKI Beri Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket Usai Ditertibkan

Megapolitan
Perolehan Kursi DPR RI dari Jakarta Berkurang 5, Gerindra DKI Minta Maaf

Perolehan Kursi DPR RI dari Jakarta Berkurang 5, Gerindra DKI Minta Maaf

Megapolitan
Polda Metro Minta Masyarakat Lapor jika Ada Juru Parkir Memalak

Polda Metro Minta Masyarakat Lapor jika Ada Juru Parkir Memalak

Megapolitan
Polisi Akan Bantu Dishub Tertibkan Juru Parkir Liar di Jakarta

Polisi Akan Bantu Dishub Tertibkan Juru Parkir Liar di Jakarta

Megapolitan
Perolehan Kursi DPR RI dari Jakarta Berkurang 5, Gerindra Tetap Akan Usung Kader di Pilkada DKI 2024

Perolehan Kursi DPR RI dari Jakarta Berkurang 5, Gerindra Tetap Akan Usung Kader di Pilkada DKI 2024

Megapolitan
Prabowo Belum Bahas Isu Penambahan Menteri di Kabinetnya

Prabowo Belum Bahas Isu Penambahan Menteri di Kabinetnya

Megapolitan
Berantas Jukir Liar, DPRD Usul Pemprov DKI-Minimarket Kerja Sama

Berantas Jukir Liar, DPRD Usul Pemprov DKI-Minimarket Kerja Sama

Megapolitan
Bulan Depan, Gerindra Akan Umumkan Nama yang Diusung untuk Pilgub DKI

Bulan Depan, Gerindra Akan Umumkan Nama yang Diusung untuk Pilgub DKI

Megapolitan
Tak Tutup Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, PDIP: Tergantung Penilaian DPP dan Rekam Jejak

Tak Tutup Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, PDIP: Tergantung Penilaian DPP dan Rekam Jejak

Megapolitan
Jukir Liar Akan Ditertibkan lalu Dikasih Pekerjaan, DPRD DKI: Tidak Semudah Itu 'Ferguso'!

Jukir Liar Akan Ditertibkan lalu Dikasih Pekerjaan, DPRD DKI: Tidak Semudah Itu "Ferguso"!

Megapolitan
Gerindra DKI Usul 4 Nama Bacagub Jakarta ke DPP, Ada Ariza Patria dan Rahayu Saraswati

Gerindra DKI Usul 4 Nama Bacagub Jakarta ke DPP, Ada Ariza Patria dan Rahayu Saraswati

Megapolitan
Jangan Seolah Lepas Tangan, Direktur STIP dan BPSDM Diminta Ikut Tanggung Jawab atas Tewasnya Putu

Jangan Seolah Lepas Tangan, Direktur STIP dan BPSDM Diminta Ikut Tanggung Jawab atas Tewasnya Putu

Megapolitan
DPRD DKI: Tidak Ada Anggaran untuk Beri Pekerjaan Eks Jukir Liar Minimarket

DPRD DKI: Tidak Ada Anggaran untuk Beri Pekerjaan Eks Jukir Liar Minimarket

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com