JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kembali menggaungkan larangan pemakaian klakson telolet kepada seluruh operator bus.
Sejumlah petugas juga sudah diturunkan untuk merazia bus dengan klakson telolet.
Sopir bus PO Shantika bernama Parno (60) menyetujuinya. Menurut dia, klakson telolet membahayakan.
Baca juga: Bocah Tewas Imbas Klakson Telolet, Korlantas Akan Sosialisasi agar Tak Pakai Klakson Dimodifikasi
"Razia ini betul bisa bikin kita meminimalisir korban kecelakaan karena bus telolet," ungkap dia kepada Kompas.com di Terminal Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, Senin (25/3/2024).
Parno sudah bekerja sebagai sopir bus di delapan PO sejak tahun 1992. Namun, fenomena klakson telolet baru terjadi sekitar lima tahun lalu.
Sepanjang kariernya, Parno sudah melalui pasang surut fenomena klakson telolet.
Ia pun sudah familiar dengan kehebohan warga yang ingin menyaksikan bus menyalakan klakson telolet.
"Waktu di Jepara dulu, anak kecil sampai pada di tol teriakin minta telolet. Ada yang sampai bawa spanduk tulisannya mintanya nyalain telolet," ucap Parno.
Kendati demikian, ada pula anak-anak kecil yang nekat mengejar bus untuk meminta awal bus membunyikan klakson telolet.
Paling parah, ada yang sampai mencegat bus demi kendaraan berhenti dan membunyikan klakson.
Padahal, jalan raya penuh dengan kendaraan roda dua maupun empat yang melaju kencang.
"Jadinya berisiko. Secara tidak langsung, sopir bus malah bikin kecelakaan. Terlalu bahaya pokoknya," terang dia.
"Karena untuk anak kecil, mereka enggak tahu risikonya. Intinya, mereka tahunya senang dengar telolet," lanjut Parno.
Seiring berjalannya waktu, Parno jadi kurang menyukai fenomena klakson telolet dan pemasangannya.
Padahal, ia sempat merogoh kocek sebesar sekitar Rp 500.000 sekitar lima tahun lalu untuk memasang klakson bernada itu.
Baca juga: Kisah Para Pemburu Telolet dan Firasat Jauhnya Senjakala Bus