JAKARTA, KOMPAS.com - Monumen Nasional atau dikenal Monas tak hanya sekedar struktur fisik yang megah dan kini menjadi ikon Jakarta.
Monas, memiliki perjalanan panjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Dulunya, kawasan itu bernama Lapangan Gambir.
Dikutip dalam buku "Batavia Kota Banjir" oleh Alwi Shahab tahun 2009, disebutkan Monas sebelumnya digunakan sebagai pacuan kuda orang Belanda.
Kegiatan pacuan kuda itu tergambarkan dalam lukisan abad ke-19.
"Mereka memakai peci ala koboi yang banyak terdapat dalam film-film yang menceritakan kehidupan abad ke-19," tulis Alwi dalam bukunya.
Baca juga: Sejarah Monas: Proyek Mercusuar Soekarno saat Ekonomi Sulit
Aktifitas kegiatan pacuan kuda terus berlangsung hingga pertengahan tahun 1950-an, tepatnya sebelum Belanda hengkang dari Indonesia karena masalah Irian Barat (papua).
Lidah api kemerdekaan
Keberadaan tugu Monas itu tak lepas menggambarkan kemerdekaan yang berhasil diraih Indonesia.
Tugu Monas yang menjulang tinggi itu dibangun untuk mengenang perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan.
Bangunan yang berbentuk mengerucut setinggi 132 meter dibangun oleh Presiden Soekarno.
Baca juga: Sejarah Monas, Lahir dari Ide Warga Biasa dan Dikerjakan Pekerja Jepang
Harian Kompas pada Juli 1996 menulis, lidah api pada puncak obelisk Monas merupakan pengejawantahan langsung dari gagasan Soekarno.
Kini, ujung dari monumen itu disebut Lidah Api Kemerdekaan yang dianggap perwujudan kepribadian bangsa Indonesia, dinamis, bergerak, dan berkobar.
Lidah Api Kemerdekaan dilapisi emas. Semula lapisan emas itu seberat 35 kilogram, namun ditambah menjadi 50 kilogram saat Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-50 pada 1995.
Sebagian besar dari emas pelapis lidah api disumbangkan oleh saudagar kaya dari Nanggroe Aceh Darussalam, Teuku Markam.
Baca juga: Wanita Misterius di Lidah Api Monas...
Misteri wanita misterius