Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Satu Pagi di Jakarta, Menanti Realisasi Janji Pengalihan Subsidi Jokowi

Kompas.com - 20/11/2014, 10:17 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pagi itu, Selasa (18/11/2014), matahari terasa lebih cepat terik. Sekalipun jam baru menunjukkan pukul 06.30 WIB, matahari memperlihatkan diri serasa pukul 08.00 WIB sudah.

Di dalam angkutan kota APB03 jurusan Tanjung Priok-Permai, Jakarta Utara, tak lebih dari jumlah jari tangan duduklah para penumpang di bangku belakang kendaraan. Melaju sembari mencari penumpang, angkutan itu berhenti di Jalan Sungai Bambu, berganti sopir.

"(Harga) BBM naik lagi, enggak jelas nih," gerutu si sopir pengganti—sopir tembak—sembari meletakkan segelas plastik kopi susu di dasbor mobil. Sebatang rokok terselip di antara jemari tangan kirinya.

Gerutuan sopir tembak pada pagi itu tentu saja mengomentari pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (17/11/2014) malam.

Di kepala si sopir ini barangkali sedang berkelebat hitungan angka setoran yang mesti lebih dia perjuangkan. Untuk liter bensin yang sama seperti hari-hari sebelumnya, sudah terbayang perkalian tambahan biaya yang harus dikeluarkannya, sementara jumlah setoran tetap sama.

Sekitar 20 menit berjalan, sampailah APB03 di pool Plumpang. Penumpang menghambur turun, sebagian di antaranya berganti moda kendaraan umum. Ada yang memilih metromini, ada pula yang beralih ke bus transjakarta. Satu hal yang pasti, pagi itu tarif angkutan kota masih sama Rp 3.000, seperti saat harga BBM bersubsidi belum bertambah Rp 2.000 per liter.

Para pengguna rute lain yang juga masih di Jakarta Utara ini tahu betul usaha yang diperlukan hanya untuk menyeberangi Jalan Yos Sudarso, untuk mencapai lokasi Metromini 07 ngetem. Pembangunan akses Tol Priok memaksa jembatan penyeberangan yang sebelumnya ada di sana dibongkar, halte bus transjakarta pun kena gusur. 

Tiba di tempat Metromini 07 mangkal, penumpang sudah berjejalan, saat Kompas.com turut menumpang. Pagi itu, tarif metromini juga belum naik. "Pemandangan" sepanjang perjalanan juga belum berubah, termasuk para peminta-minta seumuran anak sekolah yang meminta sedekah setengah membuat orang jengah dengan "ancamannya". Satu pagi yang lain di Ibu Kota.

Saat semua ini berlangsung, jalanan juga disesaki deretan kendaraan pribadi. Bukan pemandangan langka, mobil-mobil pribadi yang berebut mencari celah di tengah kemacetan itu hanya berisi satu orang atau tak lebih dari dua. Tak beda dengan angkutan umum, mobil-mobil pribadi ini juga memakai BBM, meski entah yang bersubsidi atau tidak.

Menanti keberpihakan

Kembali ke dalam metromini, butuh waktu satu setengah jam untuk menempuh perjalanan dari ITC Cempaka Mas hingga Pasar Senen di Jakarta Pusat. Tentu saja, macet. Daripada merutuki satu lagi Jakarta pada pagi hari, Kompas.com memilih membuka percakapan dengan pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, lewat layanan pesan.

Satu dua kata pembuka, percakapan pun tak jauh-jauh dari cerita perjalanan menyusuri jalanan Jakarta Utara dan Jakarta Pusat ini. Harga BBM sudah jelas naik, sederet "janji" pengalihan dana subsidi yang disebut sebagai penghematan untuk dialihkan ke sektor produktif telah disebut, tinggal realisasi yang ditunggu sebagai bukti, tak terkecuali untuk pembenahan transportasi publik.

“Kenaikan (harga BBM) ini memang diperlukan, tetapi dengan syarat dampak implikasinya benar-benar disiapkan," komentar Yoga. "Ini yang saya tidak lihat. Persiapannya minim,” ujar dia. Pagi yang tetap saja sesak di jalanan Jakarta, tentu saja hanya sekelumit kecil dari janji pembenahan yang menunggu bukti itu.

Bila memang kenaikan harga BBM bersubsidi ini benar-benar merupakan upaya mengalihkan alokasi dana subsidi, Yoga berharap ada keberpihakan pemerintah ke sektor transportasi publik. Sekali lagi, transportasi publik mewakili banyak cerita yang turut bersamanya.

Yoga menderetkan, keberpihakan yang dia harapkan itu mencakup revitalisasi angkutan umum dengan menggantikan secara bertahap angkutan kota atau bus yang tidak layak jalan. Tak luput pula, lanjut dia, integrasi angkutan umum dengan sistem satu harga sehingga menjadikannya murah.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Tindak Pungli di Depan Masjid Istiqlal, Salah Satu Pelaku Positif Sabu

Polisi Tindak Pungli di Depan Masjid Istiqlal, Salah Satu Pelaku Positif Sabu

Megapolitan
Minta Dishub Tertibkan Parkir Liar di Jakarta, Heru Budi: Harus Manusiawi

Minta Dishub Tertibkan Parkir Liar di Jakarta, Heru Budi: Harus Manusiawi

Megapolitan
Keluarga Korban Kecelakaan Bus Pariwisata SMK Lingga Kencana Terima Santunan Rp 60 Juta

Keluarga Korban Kecelakaan Bus Pariwisata SMK Lingga Kencana Terima Santunan Rp 60 Juta

Megapolitan
Tukang Tambal Ban Digeruduk Ojol, Diduga Sebar Ranjau Paku di Jalan MT Haryono

Tukang Tambal Ban Digeruduk Ojol, Diduga Sebar Ranjau Paku di Jalan MT Haryono

Megapolitan
Cabuli 5 Anak di Cengkareng, Pelaku Masuk Rumah Korban dan 'Ngaku' Ingin Beli Pulsa

Cabuli 5 Anak di Cengkareng, Pelaku Masuk Rumah Korban dan "Ngaku" Ingin Beli Pulsa

Megapolitan
Murid dan Guru SMK Lingga Kencana Trauma, Menangis Saat Ditanya Kronologi Kecelakaan

Murid dan Guru SMK Lingga Kencana Trauma, Menangis Saat Ditanya Kronologi Kecelakaan

Megapolitan
Kontennya Diduga Merendahkan Bahasa Isyarat, Komika Gerall Dilaporkan ke Polisi

Kontennya Diduga Merendahkan Bahasa Isyarat, Komika Gerall Dilaporkan ke Polisi

Megapolitan
Soal Dugaan Bus Pariwisata SMK Lingga Kencana Tidak Laik Jalan, Yayasan Harap Polisi Beri Info Seterang-terangnya

Soal Dugaan Bus Pariwisata SMK Lingga Kencana Tidak Laik Jalan, Yayasan Harap Polisi Beri Info Seterang-terangnya

Megapolitan
Pemkot Depok Beri Santunan Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana

Pemkot Depok Beri Santunan Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana

Megapolitan
Pemprov DKI Jakarta Bangun RDF di Rorotan Cilincing, Tampung 2.500 Ton Sampah Per Hari

Pemprov DKI Jakarta Bangun RDF di Rorotan Cilincing, Tampung 2.500 Ton Sampah Per Hari

Megapolitan
Percaya Bus Laik Jalan, Yayasan SMK Lingga Kencana: Kalau Tak Yakin, Enggak Diberangkatkan

Percaya Bus Laik Jalan, Yayasan SMK Lingga Kencana: Kalau Tak Yakin, Enggak Diberangkatkan

Megapolitan
Ketika Janji Heru Budi Beri Pekerjaan ke Jukir Minimarket Dianggap Mimpi di Siang Bolong...

Ketika Janji Heru Budi Beri Pekerjaan ke Jukir Minimarket Dianggap Mimpi di Siang Bolong...

Megapolitan
Suprayogi, Guru SMK Lingga Kencana yang Tewas dalam Kecelakaan Bus, Dikenal Perhatian dan Profesional

Suprayogi, Guru SMK Lingga Kencana yang Tewas dalam Kecelakaan Bus, Dikenal Perhatian dan Profesional

Megapolitan
Kecelakaan Rombongan SMK Lingga Kencana di Subang, Pihak Yayasan Merasa Kondisi Bus Layak

Kecelakaan Rombongan SMK Lingga Kencana di Subang, Pihak Yayasan Merasa Kondisi Bus Layak

Megapolitan
Tidak Cukup Dibebastugaskan, Direktur STIP Diminta Bertanggung Jawab secara Hukum

Tidak Cukup Dibebastugaskan, Direktur STIP Diminta Bertanggung Jawab secara Hukum

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com