JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum (JPU) Ali Mukartono mengatakan, proses hukum dan persidangan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak terjadi karena adanya tekanan massa.
Pernyataan tersebut disampaikan untuk menanggapi nota keberatan (eksepsi) penasihat hukum Ahok yang menyebut proses hukum kliennya dipengaruhi oleh tekanan massa dan bermula ketika Buni Yani mengunggah ulang potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang telah diberi keterangan.
Jaksa mengakui bahwa rekaman video pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang diunggah di media sosial oleh Buni Yani menimbulkan dinamika dalam masyarakat.
"Tetapi bukan karena tekanan massa sebagai akibat video yang diunggah Buni Yani itulah maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan itu di persidangan ini," kata Ali dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar bekas gedung PN Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada, Selasa (20/12/2016).
Ali menuturkan, Ahok harus mempertanggungjawabkan pernyataannya saat berpidato di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah Ayat 51.
Ahok didakwa telah melakukan penodaan agama.
"Delik yang didakwakan Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. Berdasarkan uraian di atas, maka persidangan perkara ini karena pelimpahan penuntut umum, bukan karena tekanan massa," kata Ali.
Tim penasihat hukum Ahok sebelumnya menyebutkan proses hukum Ahok dipengaruhi oleh tekanan massa. Menurut mereka, mulanya tidak ada pihak yang protes atau tersinggung dengan isi pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Begitu pun saat video tersebut diunggah Dinas Komunikasi dan Informasi DKI Jakarta. Namun, setelah sembilan hari, video pidato Ahok yang telah diberi keterangan oleh Buni Yani tersebar. Dari sanalah massa mulai protes hingga berujung pada aksi pada 14 Oktober, 4 November, dan 2 Desember 2016.
Tim penasihat hukum Ahok menyebut aksi-aksi itu sebagai tekanan massa.