KOMPAS.com - Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara serentak di beberapa wilayah dan berjalan dengan aman dan tertib, memberikan citra positif terhadap kedewasaan berpolitik masyarakat Indonesia.
Sebelum proses pemilihan, pihak kepolisian mengungkapkan adanya potensi rawan pilkada di beberapa daerah seperti Aceh, Jakarta, dan Papua. Namun patut disyukuri hingga tahapan pemilihan selesai dan proses perhitungan suara sudah memasuki tahap akhir, potensi kerusuhan tidak tampak.
Bangsa kita pada kenyataannya mampu menyelenggarakan pesta demokrasi dengan aman dan tertib, oleh karena itu hal ini juga menjadi sebuah kebangggan bagi mulai tumbuhnya iklim demokrasi yang positif.
Proses pilkada memang belum selesai seluruhnya karena Komisi Pemilihan Umum di daerah masih belum menetapkan hasil akhir perhitungan suara. Oleh sebab itu potensi konflik antarmassa pendukung masih mungkin terjadi.
Jika ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil pilkada maka mungkin eskalasi politik pilkada di beberapa daerah akan kembali memanas. Tensi pesta demokrasi lokal kali ini memang terasa lebih panas dibandingkan dengan tahun sebelumnya, hal ini karena masuknya nuansa politik identitas yang terkait dengan sentimen agama maupun etnis.
Untuk mengantisipasi adanya potensi kerusuhan yang mungkin terjadi pada saat penghitungan suara selesai, maka diperlukan adanya peran yang baik dari banyak pihak, termasuk pasangan calon kepala daerah.
Tidak dipungkiri bahwa potensi terjadinya konflik dalam pilkada serentak tahun ini dapat dikatakan lebih besar dari pemilihan presiden sebab melibatkan elit, kelas menengah, hingga akar rumput.
Pilkada tahun ini juga sangat bernuansa lokalitas sebab memunculkan adanya isu maupun sentimen lokal yang terkait dengan etnis, suku maupun agama. Karenanya tidak aneh jika dalam pilkada isu-isu tersebut turut memainkan peran dalam mempengaruhi orientasi pemilih.
Lokalitas dalam pilkada
Munculnya lokalitas dalam pilkada tidak terlepas dari proses otonomi daerah, yang dalam proses ini masyarakat di daerah lebih banyak mendapat prioritas perhatian ketimbang dari apa yang mereka alami di masa Orde Baru.
Munculnya sentimen putra daerah atau adanya keyakinan bahwa calon dari kelompoknya akan lebih memperhatikan nasib sesama, mendorong sebagian besar lapisan masyarakat untuk mendukung dan memilih kepala daerah dari kelompoknya.
Karena itu seringkali masyarakat di daerah juga menjadi loyalis sejati dalam menghantarkan calonnya untuk menjadi kepala daerah.
Bentuk loyalitas pemilih inilah yang membuat mereka pada akhirnya mendengarkan apa yang disampaikan oleh kandidatnya. Karena itu, pernyataan dan sikap dari calon terhadap hasil pilkada turut mempengaruhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat di daerah.
Termasuk juga di antaranya ketika ada ketidakpuasan dari calon kepala daerah, sehingga mampu mendorong adanya gerakan massa pendukung.