JAKARTA, KOMPAS.com
- Sepekan terakhir, kemacetan di Jakarta dirasakan Nasihir (40) semakin menggila. Sopir taksi yang biasa mangkal di Kramatjati, Jakarta Timur, itu kewalahan mengemudi di tengah arus lalu lintas yang tersendat.

Sterilisasi jalur transjakarta menjadikan jalan-jalan di Jakarta tak ubahnya sebagai ”neraka” bagi sopir taksi dan metromini. Sederet risiko membentang, mulai dari waktu terbuang, bahan bakar terhambur, hingga fisik yang merana.

”Ujung-ujungnya, penghasilan dan setoran tidak imbang. Badan rontok, tapi uang enggak ngangkat,” kata Nasihir saat ditemui di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Jumat (8/11).

Pria berkumis tebal itu mencontohkan, perjalanan dari Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, ke arah Tugu Pancoran, Jakarta Selatan, yang berjarak tak sampai 5 kilometer kini harus ditempuh sejam. Biasanya, kalau tidak macet, jalur itu hanya ditempuh 5 menit.

”Jalanan jadi tambah macet karena jalanan sempit dan jalur transjakarta yang kosong enggak bisa dilewati,” tuturnya.

Pendapatan Nasihir berkurang drastis. Biasanya, dalam sehari dia bisa mendapat penghasilan kotor Rp 600.000. Namun, seminggu terakhir jumlah uang yang didapatnya paling banyak Rp 300.000.

Penurunan pendapatan itu jelas menyusahkan. Apalagi, penghasilan yang didapat Nasihir masih harus dipotong 30 persen untuk setoran ke perusahaan. Dia juga harus mengalokasikan Rp 120.000 untuk membeli bensin setiap hari.

Penurunan penghasilan juga dirasakan Hendri (30), sopir Metromini P10 jurusan Pasar Senen-Sunter. Seminggu terakhir, jumlah rit (perjalanan pergi pulang) yang bisa ditempuhnya dalam sehari hanya empat kali. Padahal, sebelumnya bisa enam rit per hari.

Sebelum kemacetan parah akhir-akhir ini, Hendri bisa mengantongi penghasilan sampai Rp 900.000 tiap hari. Kini, pendapatannya turun menjadi Rp 600.000. Padahal, dia masih harus membeli solar Rp 250.000 tiap hari dan menyetor kepada bosnya Rp 270.000 per hari. Sisa uang yang sedikit itu juga mesti dibagi kepada keneknya.

Sama seperti Nasihir, Hendri ”menyalahkan” upaya sterilisasi jalur bus transjakarta sebagai salah satu penyebab kemacetan. Dia bahkan meminta, pada jam-jam tertentu, jalur transjakarta dibuka untuk kendaraan lain.

”Kalau pas enggak ada transjakarta lewat, sewajarnya dibuka dulu buat kendaraan lain,” lanjutnya.

Nasib pahit juga dialami Andy Marabuta (60), sopir taksi yang ditemui di Jakarta Barat. Pria asal Medan itu mengaku tak mampu meraih target yang ditentukan perusahaannya sebesar Rp 550.000 per hari.

”Setiap hari saya bekerja selama 22 jam. Namun, tujuh jamnya habis terbuang karena terkena macet di jalan,” katanya.

Bagi Sukarlan, seorang sopir taksi, pulang dengan membawa uang Rp 50.000 ke rumah bukanlah hasil yang menyenangkan. Dalam dua hari terakhir, ia bahkan harus menombok Rp 50.000 karena uang setoran tak cukup.

Namun, Sukarlan sepakat dengan pemberlakuan sterilisasi untuk jalur khusus itu. Menurut dia, warga memang sebaiknya menggunakan kendaraan umum atau moda angkutan massal di Jakarta. Saat ini, ujarnya, sebagai sopir taksi, dirinya rugi, tetapi jika kondisi jalanan Ibu Kota menjadi lebih nyaman dan bebas macet, sopir taksi juga akan merasakan dampak positifnya. (JOS/HRS/FLO)