JAKARTA, KOMPAS.com — Bagi pekerja migran dari kawasan pinggiran Jakarta, seperti Tangerang Selatan, commuter line menjadi moda transportasi jagoan. Bak pahlawan, commuter line menjadi penyelamat bagi pekerja, karyawan, dan siapa saja yang hendak ke Jakarta tanpa harus kehabisan tenaga serta terkuras uang dan emosinya.
Setiap hari mereka mengandalkan jaringan kereta api itu untuk memotong habis cacat Jakarta, yaitu kemacetan yang minta ampun parahnya. Meskipun masih banyak kelemahan, kehadirannya sungguh membantu. Pendek kata, jaringan transportasi massa itu, sekarang dan masa depan, jadi jawaban untuk persoalan transportasi kota besar seperti Jakarta.
Tenaga dan pikiran tak terkuras karena kemacetan lalu lintas sehingga kerja menjadi lebih produktif. Biaya pun dapat ditekan dalam-dalam karena murahnya harga tiket.
Tak heran, begitu sang jagoan terkapar akibat kecelakaan, mereka sangat kehilangan. Ribuan ”roker”, begitu para pengguna jasa kereta api sering menyebut diri mereka, merasakan repotnya saat jalur rel Tanah Abang-Serpong ditutup karena kecelakaan KA 1131 dengan tangki bahan bakar Pertamina. Mereka yang tidak memakai angkutan pribadi terpaksa menyerbu moda angkutan lain.
Salah satu yang menjadi sasaran para komuter itu adalah bus transbintaro yang diserbu ratusan penumpang, Selasa (10/12/2013) pagi. Salah satu ”roker” yang pindah naik bus adalah Nana Herviana, warga Bintaro yang bekerja di BPPT, Jalan Thamrin.
Sebelumnya, hampir setiap hari ia mengandalkan commuter line untuk berangkat dan pulang kerja. ”Saya harus berangkat lebih pagi agar dapat tempat di bus transbintaro,” kata Nana.
Sayang, meskipun telah berangkat satu jam lebih pagi, setiba di halte, ia harus berebutan dengan ratusan penumpang lain. ”Saya berangkat dari rumah sekitar pukul 06.30, tetapi ternyata banyak yang antre. Padahal, bus biasanya sepi,” ujarnya.
Akhirnya, ia baru dapat bus sekitar pukul 07.30 dan sampai di kantor dua jam kemudian.
”Padahal, kalau naik kereta biasanya saya berangkat jam tujuh dari Pondok Ranji, sampai Tanah Abang sekitar 20 menit, kemudian baru disambung ojek ke kantor,” ujarnya.
Ia juga harus mengeluarkan ongkos lebih banyak akibat tumbangnya sang jagoan. ”Kalau KRL cuma Rp 2.000 ditambah ongkos ojek Rp 15.000, sedangkan bus tarifnya Rp 13.000, turun di Ratu Plaza, sambung taksi Rp 20.000,” ucapnya.
Belum lagi ia harus kembali menikmati jalanan Jakarta yang macet. Hal serupa juga dialami banyak pengguna kereta api lainnya.
Jalanan di pinggiran Jakarta sejak pagi telah disesaki kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor. Setiap hari, setidaknya 80.000 penumpang menuju Stasiun Tanah Abang, Jakarta.
Meskipun kecelakaan maut menimpa kereta yang kerap ditumpanginya, Nana tetap akan menjadi pengguna setia. Ia mengaku tidak takut.
Hanya, ia meminta kepada pengelola kereta api untuk meningkatkan standar keamanan bagi para penumpangnya.
”Saya tetap akan naik CL (commuter line). Sore ini pun saya akan naik kalau sudah jalan. Namun, saya berharap, selain menambah kereta agar tidak berdesak-desakkan, keselamatan penumpang juga diperhatikan lagi,” ujarnya.
Harapan warga itu tampaknya sesuai dengan harapan Wakil Presiden Boediono. Seusai menjenguk korban di RS Suyoto, Bintaro, Wakil Presiden Boediono mengatakan, ia telah meminta PT Kereta Api Indonesia untuk mengedukasi warga dengan menyediakan panduan dan alat keselamatan jika terjadi kecelakaan.
”Panduan itu ditempel di dalam kereta api,” kata Boediono.
Selain itu, ia pun meminta agar rutinitas pengecekan sistem keamanan dan keselamatan ditingkatkan. Semua saran itu penting untuk diperhatikan agar sang jagoan selalu siap sedia... (RAY/JOS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.